Latest Post
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
07.48
Alasan: Bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi, mengancam ketertiban masyarakat, dan membahayakan keutuhan negara
Beberapa negara yang menolak ormas HTI
Written By lesbumi on Jumat, 29 September 2017 | 07.48
INDONESIA NEGARA KE-21 YG MENOLAK HTI
Berikut negara-negara yang melarang Hizbut Tahrir:
1. Mesir
Dibubarkan: 1974
Alasan: Terlibat upaya kudeta
Dibubarkan: 1974
Alasan: Terlibat upaya kudeta
2. Suriah
Dibubarkan: 1998
Alasan: Dilarang melalui jalur ekstra yudisial
Dibubarkan: 1998
Alasan: Dilarang melalui jalur ekstra yudisial
3. Turki
Dibubarkan: 2004
Alasan: Organisasi teroris
Dibubarkan: 2004
Alasan: Organisasi teroris
4. Rusia
Dibubarkan: 2003
Alasan: Organisasi teroris
Dibubarkan: 2003
Alasan: Organisasi teroris
5. Jerman
Dibubarkan: 2003
Alasan: Penyebar propraganda kekerasan dan anti semit Yahudi
Dibubarkan: 2003
Alasan: Penyebar propraganda kekerasan dan anti semit Yahudi
6. Malaysia
Dibubarkan: 2015
Alasan: Dianggap kelompok menyimpang
Dibubarkan: 2015
Alasan: Dianggap kelompok menyimpang
7. Yordania
Dibubarkan: 1953
Alasan: Mengancam kedaulatan negara
Dibubarkan: 1953
Alasan: Mengancam kedaulatan negara
8. Arab Saudi
Dibubarkan: Era Abdulaziz
Alasan: Ancaman negara
Dibubarkan: Era Abdulaziz
Alasan: Ancaman negara
9. Libya
Dibubarkan: Era Moamar Khadafi
Alasan: Organisasi yang menimbulkan keresahan
Dibubarkan: Era Moamar Khadafi
Alasan: Organisasi yang menimbulkan keresahan
10. Pakistan
Dibubarkan: 2016
Alasan: Dianggap ancaman negara
Dibubarkan: 2016
Alasan: Dianggap ancaman negara
11. Uzbekistan
Dibubarkan: 1999
Alasan: Menjadi dalang pengeboman di Tashkent
Dibubarkan: 1999
Alasan: Menjadi dalang pengeboman di Tashkent
12. Kirgistan
Dibubarkan: 2004
Alasan: Kelompok ekstrem
Dibubarkan: 2004
Alasan: Kelompok ekstrem
13. Tajikistan
Dibubarkan: 2005
Alasan: Terlibat aktivitas terorisme
Dibubarkan: 2005
Alasan: Terlibat aktivitas terorisme
14. Kazakhstan
Dibubarkan: 2005
Alasan: Terlibat terorisme
Dibubarkan: 2005
Alasan: Terlibat terorisme
15. China
Dibubarkan: 2006
Alasan: Melakukan kegiatan teror
Dibubarkan: 2006
Alasan: Melakukan kegiatan teror
16. Bangladesh
Dibubarkan: 2009
Alasan: Terlibat aktivitas militan dan mengancam kedamaian
Dibubarkan: 2009
Alasan: Terlibat aktivitas militan dan mengancam kedamaian
17. Perancis
Dibubarkan: -
Alasan: Organisasi ilegal
Dibubarkan: -
Alasan: Organisasi ilegal
18. Spanyol
Dibubarkan: 2008
Alasan: Organisasi ilegal
Dibubarkan: 2008
Alasan: Organisasi ilegal
19. Tajikistan
Dibubarkan: 2001
Alasan: Sejumlah anggotanya dipenjara
Dibubarkan: 2001
Alasan: Sejumlah anggotanya dipenjara
20. Tunisia
Dibubarkan: -
Alasan: Merusak ketertiban umum
Dibubarkan: -
Alasan: Merusak ketertiban umum
21. Indonesia
Dibubarkan: 2017
Dibubarkan: 2017
Alasan: Bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi, mengancam ketertiban masyarakat, dan membahayakan keutuhan negara
sudah saat nya umat islam menolak hti di bumi indonesia untuk mempertahnkan keutuhan NKRI yang mana kita berbeda suku agama dan budaya
karena NKRI juga warisan dari para ulama kita
Label:
sejarah
09.08
Sejarah Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945
Written By lesbumi on Minggu, 15 Januari 2017 | 09.08
Perjuangan memerdekakan Indonesia dari kolonialiasme telah melalui tahapan dan usaha yang panjang tetapi matang. Selain perjuangan fisik, bangsa Indonesia secara gigih mampu membangun pondasi kemerdekaan dengan merumuskan dasar dan ideologi negara melalui persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa dengan wadah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Maret 1945 dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Agustus 1945.
Sejarah mencatat, ketika Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa melalui Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan secara resmi berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945 yang berjumlah 69 anggota. KRT Radjiman Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo) ditunjuk sebagai Ketua. Walaupun badan ini dibentuk oleh Jepang, bagi para pemimpin perjuangan yang duduk di dalamnya, badan ini diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa.
BPUPKI menggelar dua kali sidang. Sidang pertama dibuka pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In dan 10-16 Juli 1945. Sidang pertama menetapkan Dasar Negara Pancasila dan sidang kedua menetapkan rancangan UUD 1945. Dalam sidang pertama, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1945, Mohamad Yamin mengucapkan pidato yang berisi tentang asas-asas yang diperlukan sebagai dasar negara. Pada sidang tanggal 31 Mei, Soepomo juga mengungkapkan uraian tentang dasar-dasar negara. Akhirnya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno secara gagah menyodorkan 5 poin yang diusulkan menjadi dasar negara. Pada saat itu, ia jugalah yang pertama kali menyebut “Pancasila” untuk 5 dasar yang diajukannya itu.
Persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa termasuk salah satu perumus Pancasila KH Abdul Wahid Hasyim dari kalangan tokoh agama tidak lantas membuat mereka optimis dalam menyiapkan kemerdekaan. Hal ini diungkapkan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam salah satu kolomnya berjudul Kemerdekaan: Suatu Refleksi (Aula, 1991: 41).
Dalam tulisan tersebut, Gus Dur menjelaskan dalam konteks usaha susah payah para tokoh bangsa dalam menyiapkan kemerdekaan. Mantan Presiden ke-4 RI ini mengatakan bahwa pada sidang lanjutan tanggal 1 Juni 1945 para pemimpin rakyat peserta sidang kebanyakan masih menyangsikan kemampuan bangsa Indonesia untuk merdeka. Meskipun demikian, dalam kesangsian sikap itu, justru dimanfaatkan oleh para tokoh bangsa sebagai energi positif untuk dapat merumuskan dasar negara. Artinya, kesangsian yang timbul bukan semata dari semangat perjuangan, tetapi dari pergolakan politik yang masih berkecamuk saat itu.
Namun demikian, Gus Dur menegaskan akhirnya para pemimpin rakyat itu melalui perjuangan jiwa, raga, dan pikiran berhasil memerdekakan Indonesia dua bulan kemudian (17 Agustus 1945). Dalam konteks ini, Gus Dur ingin menyampaikan bahwa esensi kemerdekaan bukan hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga terbangun persamaan hak (equality) di antara seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Secara tegas, Gus Dur mengatakan bahwa musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan dalam penggunaan kekuasaan itu.
Peran strategis KH Wahid Hasyim dalam perumusan Pancasila
Jika balik lagi memperhatikan proses penyusunan dasar negara berupa Pancasila dan UUD 1945, apa yang dijelaskan oleh Gus Dur, itulah misi yang dibawa oleh para pemimpin rakyat agar dasar negara merupakan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas. Seperti diketahui bahwa Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya. Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.
Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, 2010: 91). Jika saat ini ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan dasar negara ini.
Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia.
Menurut salah satu Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ (2016), tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.
(Fathoni Ahmad nu.or.id)
Sejarah mencatat, ketika Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa melalui Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan secara resmi berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945 yang berjumlah 69 anggota. KRT Radjiman Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo) ditunjuk sebagai Ketua. Walaupun badan ini dibentuk oleh Jepang, bagi para pemimpin perjuangan yang duduk di dalamnya, badan ini diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa.
BPUPKI menggelar dua kali sidang. Sidang pertama dibuka pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In dan 10-16 Juli 1945. Sidang pertama menetapkan Dasar Negara Pancasila dan sidang kedua menetapkan rancangan UUD 1945. Dalam sidang pertama, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1945, Mohamad Yamin mengucapkan pidato yang berisi tentang asas-asas yang diperlukan sebagai dasar negara. Pada sidang tanggal 31 Mei, Soepomo juga mengungkapkan uraian tentang dasar-dasar negara. Akhirnya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno secara gagah menyodorkan 5 poin yang diusulkan menjadi dasar negara. Pada saat itu, ia jugalah yang pertama kali menyebut “Pancasila” untuk 5 dasar yang diajukannya itu.
Persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa termasuk salah satu perumus Pancasila KH Abdul Wahid Hasyim dari kalangan tokoh agama tidak lantas membuat mereka optimis dalam menyiapkan kemerdekaan. Hal ini diungkapkan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam salah satu kolomnya berjudul Kemerdekaan: Suatu Refleksi (Aula, 1991: 41).
Dalam tulisan tersebut, Gus Dur menjelaskan dalam konteks usaha susah payah para tokoh bangsa dalam menyiapkan kemerdekaan. Mantan Presiden ke-4 RI ini mengatakan bahwa pada sidang lanjutan tanggal 1 Juni 1945 para pemimpin rakyat peserta sidang kebanyakan masih menyangsikan kemampuan bangsa Indonesia untuk merdeka. Meskipun demikian, dalam kesangsian sikap itu, justru dimanfaatkan oleh para tokoh bangsa sebagai energi positif untuk dapat merumuskan dasar negara. Artinya, kesangsian yang timbul bukan semata dari semangat perjuangan, tetapi dari pergolakan politik yang masih berkecamuk saat itu.
Namun demikian, Gus Dur menegaskan akhirnya para pemimpin rakyat itu melalui perjuangan jiwa, raga, dan pikiran berhasil memerdekakan Indonesia dua bulan kemudian (17 Agustus 1945). Dalam konteks ini, Gus Dur ingin menyampaikan bahwa esensi kemerdekaan bukan hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga terbangun persamaan hak (equality) di antara seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Secara tegas, Gus Dur mengatakan bahwa musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan dalam penggunaan kekuasaan itu.
Peran strategis KH Wahid Hasyim dalam perumusan Pancasila
Jika balik lagi memperhatikan proses penyusunan dasar negara berupa Pancasila dan UUD 1945, apa yang dijelaskan oleh Gus Dur, itulah misi yang dibawa oleh para pemimpin rakyat agar dasar negara merupakan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas. Seperti diketahui bahwa Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya. Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.
Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, 2010: 91). Jika saat ini ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan dasar negara ini.
Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia.
Menurut salah satu Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ (2016), tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.
(Fathoni Ahmad nu.or.id)
Label:
sejarah
09.01
Muslimat NU Ikut Berjuang Di Zaman Revolusi
November 1945, meletus berbagai peperangan di berbagai daerah melawan tentara Sekutu yang berusaha untuk kembali menjajah bangsa Indonesia. Seruan jihad pun dikumandangkan.
Sebelumnya, Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari dalam Rapat Besar Konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura, pada 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur mengeluarkan seruan “Resolusi Jihad” : “Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam”
Seluruh rakyat terpanggil untuk mempertahankan kemerdekaan dengan segala apa yang ada, tak terkecuali kaum Nahdliyin dan Nahdliyat. Para pengurus dan anggota NU beserta banom pemudanya (Ansor NU), ikut bergabung di dalam Hizbullah dan Sabilillah, berjuang memanggul senjata menghadapi musuh.
Lalu, bagaimana Muslimatnya? Mereka pun tidak ketinggalan. Kaum ibu bekerja di berbagai lapangan, seperti dapur umum, palang merah, mengumpulkan pakaian dan makanan, turut memberi penerangan ke sana-sini, dan menghidupkan semangat perjuangan melawan musuh. Bahkan, ada juga yang ikut mengangkat senjata.
Yang lebih berat, perjuangan para ibu Muslimat NU tersebut, bersamaan dengan tugas mereka untuk menyusun dirinya ke dalam, yakni menjadikan Muslimat sebagai bagian dari NU dan diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri (badan otonom).
Hingga pada akhirnya, pada tahun 1946, Di masa perang serta bertepatan dengan penyelenggaraan Kongres NU ke-XVI di Purwokerto, Muslimat resmi menjadi bagian NU dengan nama NU Muslimat (NUM). Adapun susunan pengurusnya sebagai berikut :
Penasehat : Nyai Fatmah Surabaya
Ketua : Ny Chadijah Pasuruan
Penulis I : Ny Mudrikah
Penulis II : Ny Muhajja
Bendahara : Ny Kasminten Pasuruan
Pembantu : Ny Fatehah, Ny Musyarrafah Surabaya, Ny Alfijah.
( Dikutip dari Aboebakar Atjeh. 1957. Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar)
Sebelumnya, Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari dalam Rapat Besar Konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura, pada 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur mengeluarkan seruan “Resolusi Jihad” : “Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam”
Seluruh rakyat terpanggil untuk mempertahankan kemerdekaan dengan segala apa yang ada, tak terkecuali kaum Nahdliyin dan Nahdliyat. Para pengurus dan anggota NU beserta banom pemudanya (Ansor NU), ikut bergabung di dalam Hizbullah dan Sabilillah, berjuang memanggul senjata menghadapi musuh.
Lalu, bagaimana Muslimatnya? Mereka pun tidak ketinggalan. Kaum ibu bekerja di berbagai lapangan, seperti dapur umum, palang merah, mengumpulkan pakaian dan makanan, turut memberi penerangan ke sana-sini, dan menghidupkan semangat perjuangan melawan musuh. Bahkan, ada juga yang ikut mengangkat senjata.
Yang lebih berat, perjuangan para ibu Muslimat NU tersebut, bersamaan dengan tugas mereka untuk menyusun dirinya ke dalam, yakni menjadikan Muslimat sebagai bagian dari NU dan diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri (badan otonom).
Hingga pada akhirnya, pada tahun 1946, Di masa perang serta bertepatan dengan penyelenggaraan Kongres NU ke-XVI di Purwokerto, Muslimat resmi menjadi bagian NU dengan nama NU Muslimat (NUM). Adapun susunan pengurusnya sebagai berikut :
Penasehat : Nyai Fatmah Surabaya
Ketua : Ny Chadijah Pasuruan
Penulis I : Ny Mudrikah
Penulis II : Ny Muhajja
Bendahara : Ny Kasminten Pasuruan
Pembantu : Ny Fatehah, Ny Musyarrafah Surabaya, Ny Alfijah.
( Dikutip dari Aboebakar Atjeh. 1957. Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar)
nu.or.id
Label:
sejarah
19.28
Sejarah Seni terbang Al Banjari
Written By lesbumi on Sabtu, 14 Januari 2017 | 19.28
Seni terbang Al-Banjari adalah sebuah kesenian khas islami yang berasal dari Kalimantan. Iramanya yang menghentak, rancak dan variatif membuat kesenian ini masih banyak digandrungi oleh pemuda-pemudi hingga sekarang. Seni jenis ini bisa disebut pula aset atau ekskul terbaik di pondok-pondok pesantren Salafiyah. Sampai detik ini seni hadrah yang berasal dari kota Banjar ini bisa dibilang paling konsisten dan paling banyak diminati oleh kalangan santri, bahkan saat ini di beberapa kampus mulai ikut menyemarakkan jenis musik ini.
Hadrah Al-Banjari masih merupakan jenis musik rebana yang mempunyai keterkaitan sejarah pada masa penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga, Jawa. Karena perkembangannya yang menarik, kesenian ini seringkali digelar dalam acara-acara seperti maulid nabi, isra’ mi’raj atau hajatan semacam sunatan dan pernikahan. Alat rebananya sendiri berasal dari daerah Timur Tengah dan dipakai untuk acara kesenian. Kemudian alat musik ini semakin meluas perkembangannya hingga ke Indonesia, mengalami penyesuaian dengan musik-musik tradisional baik seni lagu yang dibawakan maupun alat musik yang dimainkan. Demikian pula musik gambus, kasidah dan hadroh adalah termasuk jenis kesenian yang sering menggunakan rebana.
Keunikan musik rebana termasuk banjari adalah hanya terdapat satu alat musik yaitu rebana yang dimainkan dengan cara dipukul secara langsung oleh tangan pemain tanpa menggunakan alat pemukul. Musik ini dapat dimainkan oleh siapapun untuk mengiringi nyanyian dzikir atau sholawat yang bertemakan pesan-pesan agama dan juga pesan-pesan sosial budaya. Umumnya menggunakan bahasa Arab, tapi belakangan banyak yang mengadopsi bahasa lokal untuk kresenian ini.
Jadi, sebagai generasi penerus kita harusnya berbangga hati karena dapat menjaga apa yang telah di ajarkan oleh nabi sebelumnya. Akhirnya, mari kita bersama melestarikan kesenian islami ini. Toh nabi juga tidak pernah melarang ‘seni’. Kita jadikan rebana ini sebagai wahana untuk menggapai cinta-Nya serta meraih syafaatnya sehingga kelak menjadi ummat yang selamat.
Hadrah Al-Banjari masih merupakan jenis musik rebana yang mempunyai keterkaitan sejarah pada masa penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga, Jawa. Karena perkembangannya yang menarik, kesenian ini seringkali digelar dalam acara-acara seperti maulid nabi, isra’ mi’raj atau hajatan semacam sunatan dan pernikahan. Alat rebananya sendiri berasal dari daerah Timur Tengah dan dipakai untuk acara kesenian. Kemudian alat musik ini semakin meluas perkembangannya hingga ke Indonesia, mengalami penyesuaian dengan musik-musik tradisional baik seni lagu yang dibawakan maupun alat musik yang dimainkan. Demikian pula musik gambus, kasidah dan hadroh adalah termasuk jenis kesenian yang sering menggunakan rebana.
Keunikan musik rebana termasuk banjari adalah hanya terdapat satu alat musik yaitu rebana yang dimainkan dengan cara dipukul secara langsung oleh tangan pemain tanpa menggunakan alat pemukul. Musik ini dapat dimainkan oleh siapapun untuk mengiringi nyanyian dzikir atau sholawat yang bertemakan pesan-pesan agama dan juga pesan-pesan sosial budaya. Umumnya menggunakan bahasa Arab, tapi belakangan banyak yang mengadopsi bahasa lokal untuk kresenian ini.
Jadi, sebagai generasi penerus kita harusnya berbangga hati karena dapat menjaga apa yang telah di ajarkan oleh nabi sebelumnya. Akhirnya, mari kita bersama melestarikan kesenian islami ini. Toh nabi juga tidak pernah melarang ‘seni’. Kita jadikan rebana ini sebagai wahana untuk menggapai cinta-Nya serta meraih syafaatnya sehingga kelak menjadi ummat yang selamat.
Label:
sejarah
11.17
Sejarah Kentongan Dan Bedug
Written By lesbumi on Rabu, 11 Januari 2017 | 11.17
Hampir di semua masjid, mushala, maupun langgar di lingkungan warga NU memiliki sebuah bedug sebagai pertanda waktu shalat. Kadang juga didampingi oleh kentongan.
Menurut arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan.
Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.
Saat itu nama “bedug” belum biasa digunakan. Istilah lainnya adalah “teg-teg”, kelompok membraphone menyerupai bedug. Fungsinya sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). “Karena Kidung Malat menyebut bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug,”
Kemudian penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste Boek –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara– mencatat keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam,”
Orang China juga punya andil. Seorang China-Muslim Cheng Ho dan bala pasukannnya pernah datang sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang mempertunjukkan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris ke tentara yang mengiringinya. Konon, ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.
Keberadaan bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisanga sekitar abad ke-15/16. Bedug ditempatkan di masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam melaksanakan shalat lima waktu. Ini karena, seperti ditulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid”, dalam Peter J.M. Nas dan Martien de Vletter, Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul sebelum azan dikumandangkan.
Di sejumlah masjid, bedug diletakkan di beranda atau di lantai atas. Ada juga yang diberi rumah kecil, terpisah dari masjid. Jika masjid memiliki gerbang besar, bedug sering diletakkan di atasnya. “Suara bedug, pada waktu belum ada pengeras suara, lebih nyaring daripada suara manusia, dan menjadi alat komunikasi yang penting untuk menandai dan merayakan momen-momen keagamaan,”
Masjid juga sering memiliki alat komunikasi lain sebagai teman bedug kentongan, yakni semacam tetabuhan yang terbuat dari batang kayu. Alat ini, bersama bedug, digunakan untuk memperingatkan orang-orang sebelum azan berkumandang.
Memukul bedug sepertinya merupakan tradisi lama,penggunaan bedug untuk memanggil orang-orang datang ke masjid. Suaranya terdengar bermil-mil sampai ke pegunungan.
Di balik suara yang dihasilkan ada filosofinya.
“Suara dari Kentongan yang berbunyi
‘Thong – thong – thong’ itu diartikan,
‘ Iki Lho, Musholane / Masjid e isih KOTHONG. Ndang Teko, wes mlebu Wayahe’
(Maknanya: Ini Mushola / Masjidnya masih KOSONG. Bergegaslah datang, sudah masuk Waktu Sholat)
sholat awal waktu itu lebih utama
Kalau suara bedung itu terusannya dari ‘Kothong’ ‘Deng – Deng – Deng’ diartikan,
‘Mushola / Masjide Isih Sedeng’
(Maknanya: Mushola / Masjidnya masih Cukup/Muat)
Maksudnya, kita disuruh bergegas datang ke mushola / masjid karena mushola / masjidnya masih kosong dan mushola / masjidnya masih cukup/muat untuk menampung jama’ah untuk sholat berjama’ah.
Selain untuk memberi tahu warga desa atau kampung bahwa waktu shalat sudah tiba, “… pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa serta hari raya haji... kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara,
Konon Kiai Faqih Maskumambang Gresik ternyata memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Hadratussyaikh karena senasib dan seperjuangan dalam mencari ilmu serta dengan guru yang sama. Hubungan mereka pun semakin akrab tatkala NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Kota Surabaya.
Yakni, mereka berdua didaulat oleh para kiai untuk menduduki jabatan Rais Akbar oleh Hadratussyaikh dan Kiai Faqih mendapat bagian sebagai Wakil Rais Akbar. Keakraban mereka dalam menjalankan roda organisasi bukannya tanpa cela. Mereka pernah tidak sepaham dalam menanggapi satu masalah yang berhubungan dengan hukum pemakaian kentongan.
Hadratussyaikh tidak memperbolehkan pemakaian kentongan sebagai alat pertanda waktu shalat sebelum atau sesudah adzan dikumandangkan. Namun, Kiai Faqih berpendapat lain, yakni menggunakan kentongan sah-sah saja. Mbah Hasyim memiliki alasan tersendiri atas pelarangan tersebut, yakni karena tidak adanya dalil yang memperbolehkan.
Kiai Faqih pun tidak kalah argumen. Ia memperbolehkan penggunaan kentongan disebabkan oleh kebolehan menggunakan bedug, jadi diqiyaskan atau disamakan hukumnya. Bila bedug boleh digunakan untuk memanggil shalat hal ini berlaku pula bagi kentongan.
Mbah Hasyim menghormati pendapat Kiai Faqih dengan cara mengundang ulama se-Jombang serta para santri seniornya. Di hadapan mereka ini, Mbah Hasyim menyatakan boleh menggunakan kedua pendapat tersebut dengan bebas. Namun ada satu syarat yang diminta oleh Mbah Hasyim, yakni kentongan tidak digunakan di Masjid Tebuireng sampai kapan pun.
Pada suatu waktu Kiai Faqih mengadakan satu acara dengan mengundang Mbah Hasyim untuk berceramah di Pesantren Maskumambang. Kiai Faqih pun meminta takmir masjid atau mushalla di sekitarnya untuk menurunkan semua kentongan selama Mbah Hasyim berada di Gresik. Sungguh suatu sikap yang patut diteladani dari kedua tokoh besar NU bagi warga nahdliyin jika terjadi suatu perselisihan.
Belakangan, tak semua umat Muslim di Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid-masjid. Ia akrab dengan warga Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak bagi kelompok muslim lain yang menganggap bedug bid’ah. Penggunaan bedug tampaknya sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan Islam tradisional dan modernis. NU sendiri, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di masjid-masjid karena diperlukan untuk syiar Islam.
Menurut arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan.
Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.
Saat itu nama “bedug” belum biasa digunakan. Istilah lainnya adalah “teg-teg”, kelompok membraphone menyerupai bedug. Fungsinya sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). “Karena Kidung Malat menyebut bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug,”
Kemudian penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste Boek –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara– mencatat keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam,”
Orang China juga punya andil. Seorang China-Muslim Cheng Ho dan bala pasukannnya pernah datang sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang mempertunjukkan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris ke tentara yang mengiringinya. Konon, ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.
Keberadaan bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisanga sekitar abad ke-15/16. Bedug ditempatkan di masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam melaksanakan shalat lima waktu. Ini karena, seperti ditulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid”, dalam Peter J.M. Nas dan Martien de Vletter, Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul sebelum azan dikumandangkan.
Di sejumlah masjid, bedug diletakkan di beranda atau di lantai atas. Ada juga yang diberi rumah kecil, terpisah dari masjid. Jika masjid memiliki gerbang besar, bedug sering diletakkan di atasnya. “Suara bedug, pada waktu belum ada pengeras suara, lebih nyaring daripada suara manusia, dan menjadi alat komunikasi yang penting untuk menandai dan merayakan momen-momen keagamaan,”
Masjid juga sering memiliki alat komunikasi lain sebagai teman bedug kentongan, yakni semacam tetabuhan yang terbuat dari batang kayu. Alat ini, bersama bedug, digunakan untuk memperingatkan orang-orang sebelum azan berkumandang.
Memukul bedug sepertinya merupakan tradisi lama,penggunaan bedug untuk memanggil orang-orang datang ke masjid. Suaranya terdengar bermil-mil sampai ke pegunungan.
Di balik suara yang dihasilkan ada filosofinya.
“Suara dari Kentongan yang berbunyi
‘Thong – thong – thong’ itu diartikan,
‘ Iki Lho, Musholane / Masjid e isih KOTHONG. Ndang Teko, wes mlebu Wayahe’
(Maknanya: Ini Mushola / Masjidnya masih KOSONG. Bergegaslah datang, sudah masuk Waktu Sholat)
sholat awal waktu itu lebih utama
Kalau suara bedung itu terusannya dari ‘Kothong’ ‘Deng – Deng – Deng’ diartikan,
‘Mushola / Masjide Isih Sedeng’
(Maknanya: Mushola / Masjidnya masih Cukup/Muat)
Maksudnya, kita disuruh bergegas datang ke mushola / masjid karena mushola / masjidnya masih kosong dan mushola / masjidnya masih cukup/muat untuk menampung jama’ah untuk sholat berjama’ah.
Selain untuk memberi tahu warga desa atau kampung bahwa waktu shalat sudah tiba, “… pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa serta hari raya haji... kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara,
Konon Kiai Faqih Maskumambang Gresik ternyata memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Hadratussyaikh karena senasib dan seperjuangan dalam mencari ilmu serta dengan guru yang sama. Hubungan mereka pun semakin akrab tatkala NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Kota Surabaya.
Yakni, mereka berdua didaulat oleh para kiai untuk menduduki jabatan Rais Akbar oleh Hadratussyaikh dan Kiai Faqih mendapat bagian sebagai Wakil Rais Akbar. Keakraban mereka dalam menjalankan roda organisasi bukannya tanpa cela. Mereka pernah tidak sepaham dalam menanggapi satu masalah yang berhubungan dengan hukum pemakaian kentongan.
Hadratussyaikh tidak memperbolehkan pemakaian kentongan sebagai alat pertanda waktu shalat sebelum atau sesudah adzan dikumandangkan. Namun, Kiai Faqih berpendapat lain, yakni menggunakan kentongan sah-sah saja. Mbah Hasyim memiliki alasan tersendiri atas pelarangan tersebut, yakni karena tidak adanya dalil yang memperbolehkan.
Kiai Faqih pun tidak kalah argumen. Ia memperbolehkan penggunaan kentongan disebabkan oleh kebolehan menggunakan bedug, jadi diqiyaskan atau disamakan hukumnya. Bila bedug boleh digunakan untuk memanggil shalat hal ini berlaku pula bagi kentongan.
Mbah Hasyim menghormati pendapat Kiai Faqih dengan cara mengundang ulama se-Jombang serta para santri seniornya. Di hadapan mereka ini, Mbah Hasyim menyatakan boleh menggunakan kedua pendapat tersebut dengan bebas. Namun ada satu syarat yang diminta oleh Mbah Hasyim, yakni kentongan tidak digunakan di Masjid Tebuireng sampai kapan pun.
Pada suatu waktu Kiai Faqih mengadakan satu acara dengan mengundang Mbah Hasyim untuk berceramah di Pesantren Maskumambang. Kiai Faqih pun meminta takmir masjid atau mushalla di sekitarnya untuk menurunkan semua kentongan selama Mbah Hasyim berada di Gresik. Sungguh suatu sikap yang patut diteladani dari kedua tokoh besar NU bagi warga nahdliyin jika terjadi suatu perselisihan.
Belakangan, tak semua umat Muslim di Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid-masjid. Ia akrab dengan warga Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak bagi kelompok muslim lain yang menganggap bedug bid’ah. Penggunaan bedug tampaknya sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan Islam tradisional dan modernis. NU sendiri, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di masjid-masjid karena diperlukan untuk syiar Islam.
Label:
sejarah
08.31
Sejarah Resolusi Jihad
Mengupas sejarah secara rill dan fakta bersama beliau Prof. KH AGUS SUNYOTO seorang sejarahwan dan ketua LESBUMI PBNU.
Sebagai generasi bangsa itu harus mengenal sejarah agar pergerakannya menjadi terarah.Bagaimana mau cinta NKRI kalau sejarah Indonesia aja gak ngerti,
Prof.KH Agus Sunyoto juga mengungkap resolusi jihad yaitu
Arek-arek Surabaya marah membaca ultimatum dan instruksi E.C.Mansergh yang sangat merendahkan martabat Bangsa Indonesia. KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya, menyambut hinaan Mayor Jenderal E.C.Mansergh itu dengan mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional, yaitu dari pernyataan resolusi berbunyi:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…” menjadi “Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
Seruan jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari pada 9 November 1945 itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah-daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon.
Para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong ke Surabaya, bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya untuk menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945.
Oleh karena perang melawan kekuatan pasukan Inggris pada 10 November 1945 dilandasi semangat Jihad Fii Sabilillah, maka teriakan “Allahu Akbar!” sebagai penanda jihad dikumandangkan sejak peluru pertama meletus sampai tarikan nafas terakhir seorang pejuang kehilangan nyawa menjadi syuhada.
Dan Inggris yang menduga Rakyat Surabaya akan tunduk menyerah dalam tempo tiga hari – setelah kota dibombardir dari darat, laut dan udara – terbukti harus bersimbah darah dan airmata karena sampai tiga bulan bertempur, kekuatan rakyat Indonesia yang dikobari semanbgat Jihad fii Sabilillah tidak kunjung menyerah.
PETA dan Hizbullah yang berperang penting dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi sangat wajar jika kalangan pesantren memiliki hubungan historis yang sangat kuat dengan Negara Republik Indonesia dan khususnya TNI. Itu sebabnya, ketika Negara Indonesia menghadapi ancaman, baik ancaman te
ritorial maupun ideologis, kalangan pesantren secara refleks akan terpanggil untuk menjadi bumper yang bersedia syahid untuk negerinya. Sebab tanpa perlu pengakuan formal sejarah, kalangan pesantren memiliki kewajiban moral untuk melindungi dan membela Negara Indonesia, karena mereka ikut membidangi lahirnya Negara Indonesia, terutama membidangi lahirnya TNI.
Sebagai generasi bangsa itu harus mengenal sejarah agar pergerakannya menjadi terarah.Bagaimana mau cinta NKRI kalau sejarah Indonesia aja gak ngerti,
Prof.KH Agus Sunyoto juga mengungkap resolusi jihad yaitu
Arek-arek Surabaya marah membaca ultimatum dan instruksi E.C.Mansergh yang sangat merendahkan martabat Bangsa Indonesia. KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya, menyambut hinaan Mayor Jenderal E.C.Mansergh itu dengan mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional, yaitu dari pernyataan resolusi berbunyi:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…” menjadi “Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
Seruan jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari pada 9 November 1945 itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah-daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon.
Para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong ke Surabaya, bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya untuk menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945.
Oleh karena perang melawan kekuatan pasukan Inggris pada 10 November 1945 dilandasi semangat Jihad Fii Sabilillah, maka teriakan “Allahu Akbar!” sebagai penanda jihad dikumandangkan sejak peluru pertama meletus sampai tarikan nafas terakhir seorang pejuang kehilangan nyawa menjadi syuhada.
Dan Inggris yang menduga Rakyat Surabaya akan tunduk menyerah dalam tempo tiga hari – setelah kota dibombardir dari darat, laut dan udara – terbukti harus bersimbah darah dan airmata karena sampai tiga bulan bertempur, kekuatan rakyat Indonesia yang dikobari semanbgat Jihad fii Sabilillah tidak kunjung menyerah.
PETA dan Hizbullah yang berperang penting dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi sangat wajar jika kalangan pesantren memiliki hubungan historis yang sangat kuat dengan Negara Republik Indonesia dan khususnya TNI. Itu sebabnya, ketika Negara Indonesia menghadapi ancaman, baik ancaman te
ritorial maupun ideologis, kalangan pesantren secara refleks akan terpanggil untuk menjadi bumper yang bersedia syahid untuk negerinya. Sebab tanpa perlu pengakuan formal sejarah, kalangan pesantren memiliki kewajiban moral untuk melindungi dan membela Negara Indonesia, karena mereka ikut membidangi lahirnya Negara Indonesia, terutama membidangi lahirnya TNI.
Label:
sejarah
09.18
MELACAK JEJAK SEJARAH KELAHIRAN TNI
Written By lesbumi on Rabu, 04 Januari 2017 | 09.18
Oleh: KH Agus Sunyoto
Tinta emas sejarah menggoreskan catatan bahwa sejak awal didirikan, TNI sudah mengibarkan panji-panji ideal sebagai ‘Tentara Pejuang’ yang berasal dari rakyat untuk Bangsa dan Negara, karena TNI bukanlah institusi Negara yang dibentuk begitu saja untuk melengkapi pembentukan Negara Indonesia.
Sejarah mencatat, sampai memasuki bulan September 1945 Negara Indonesia yang dibentuk 18 Agustus 1945 belum dilengkapi institusi militer, sampai Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, yang mantan perwira KNIL menyindir,”Aneh Indonesia ini, ada Negara zonder tentara.” Setelah itu, dibentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat), yang merupakan embrio lahirnya TNI.
Jauh sebelum lahir secara formal sebagai Tentara Nasional Indonesia, keberadaan institusi militer sudah menjadi bagian integral dari Negara-negara tradisional semenjak jaman Kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, Sunda, Kalingga, Mataram, Janggala, Panjalu, Singasari, Majapahit, Demak, Cirebon, Banten, dan kesultanan-kesultanan di berbagai daerah di Nusantara. Belum pernah terjadi, sebuah Negara tradisional yang tidak memiliki institusi militer. Bahkan jauh melampaui institusi kemiliteran, jiwa perjuangan dan kejuangan beserta perlawanan terhadap semua bentuk penjajahan dan penindasan dari kekuatan asing terhadap Bangsa Indonesia sudah dinyalakan dalam kobaran api perlawanan sejak kolonialis-imperialis Eropa seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Perancis datang susul-menyusul ke Indonesia untuk menaklukkan, menjajah, merendahkan, mengeksploitasi, menebar kesengsaraan dan penderitaan bagi Bangsa Indonesia.
Tinta emas sejarah mencatat bahwa sejak awal kedatangan Bangsa Portugis yang dilanjutkan Belanda dan Inggris di Nusantara, umat Islam tidak pernah berhenti melakukan perlawanan bersenjata, di mana pemimpin-pemimpin perlawanan umumnya berasal dari kalangan pemuka tarekat yang mendukung penguasa-penguasa pribumi untuk melawan penjajah. Lantaran itu, di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia telah tersebar rasa takut terhadap tarekat, karena mereka yakin bahwa gerakan tarekat akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak melawan pemerintah Kolonial Belanda (Suminto, 1985). Meski perlawanan awal terhadap kolonialis-imperialis Eropa sudah dilakukan sejak armada Demak menggempur Portugis yang menaklukkan Malaka tahun 1512, yang disusul Perang Portugis – Fatahillah 1522 dan selanjutnya Perang Portugis-Aceh tahun 1536, Perang Portugis – Johor-Siak-Inderagiri-Jepara, Perang Portugis-Ternate di bawah Sultan Baabullah, Perang VOC Belanda – Mataram di era Sultan Agung 1626 dan 1629, Perang VOC Belanda - Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa dengan dukungan Syaikh Yusuf Tajul Khalwati Al-Makassari, Perang VOC – Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, Perang suksesi Mataram 1670 – 1755 yang melibatkan Trunojoyo, Karaeng Galesong, Panembahan Giri, Panembahan Rama Kajoran, disusul perlawanan Surapati, pemberontakan Bupati Kasepuhan Surabaya Jayapuspita dan Bupati Kanoman Surabaya Jangrana III, yang dilanjut pemberontakan Tumenggung Sasranegara Sawunggaling, Geger Pacinan, perlawanan Malang dan Lumajang, hingga VOC dibubarkan 31 desember 1799 untuk diganti Pemerintah Hindia Belanda, perlawanan pribumi muslim yang dipimpin guru tarekat dan ulama pesantren senantiasa menjadi keniscayaan. Koloniaal Archive mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda ditegakkan menggantikan VOC tahun 1800 hingga tahun 1900, terjadi 112 kali perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Namun semua perlawanan itu kurang membawa hasil yang memuaskan, terutama karena para pemimpin perlawanan – guru tarekat dan ulama pesantren -- hanya didukung oleh kalangan petani, tukang, perajin, pedagang kecil, dan santri-santri yang tidak memiliki dasar kemiliteran. Sejarah mencatat, betapa kekuatan besar massa rakyat yang tidak terlatih selalu kalah ketika berhadapan dengan tentara kolonial yang terlatih seperti KNIL dan marsose (Kartodirdjo, 1973; Notosusanto, 1971; Abdul Azis, 1955)
Tinta emas sejarah mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda tunduk kepada Jepang di Kalijati, Subang, pada 8 Maret 1942, kekuasaan pindah tangan kepada imperialism Jepang yang berkuasa di Indonesia. Sekali pun Jepang berkuasa dengan tangan besi, namun terjadi perubahan besar-besaran dalam peri kehidupan rakyat Indonesia terutama dalam kaitan dengan pengembangan doktrin kemiliteran. Fakta sejarah mencatat bahwa pemerintah militer Jepang di Indonesia telah menciptakan satuan-satuan militer dan para militer berskala nasional yang terdiri dari pribumi-pribumi Indonesia, termasuk di dalamnya komunitas muslim yang berasal dari pesantren. Pada 29 Maret 1942 – dua minggu setelah Jepang berkuasa – dibentuklah Barisan Pemuda yang terdiri atas Barisan Seinendan (usia 14 – 22 tahun) dengan jumlah 5.00.000 orang dan Barisan Keibodan (usia 23 – 33 tahun) dengan jumlah 100.00 orang. Kedua barisan ini diberi pelajaran baris-berbaris dan latihan perang-perangan (kyoren). Murid-murid sekolah pun diorganisasi ke dalam barisan pelajar sekolah menengah (Gakkotonari) yang terdiri dari Chugakko (untuk siswa SLTP) dan Daigakko (untuk siswa SLTA). Sedang untuk mahasiswa dibentuk Himpunan Mahasiswa yang disebut Gakkutai. Mereka semua diberi pelajaran kyoren (Benda, 1985; Asmadi, 1985; Brugmans, 1960).
Pendidikan Kemiliteran Jepang
Pada 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan Jepang Letnan Jendral Kumakichi Harada mengeluarkan Osamu Osirei No.44 tentang pembentukan Boei Gyu Gun Kanbu Renseitai atau tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri atas 69 batalyon di Jawa dan Bali. Sebagian di antara komandan batalyon PETA yang terpilih dengan pangkat Daidancho (Mayor) adalah para kiai dari komunitas pesantren, yang dewasa itu akrab dengan amaliah tarekat. Itu terlihat saat latihan pertama PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943 di dekat istana Bogor, yang diikuti peresmian nama-nama perwira berpangkat mayor, sebagaimana tercatat pada nama-nama perwira PETA yang berkedudukan komandan Batalion:
1.Daidancho KH Tubagus Achmad Chatib, Danyon I ,Labuan - Banten; 2.Daidancho K. E. Oyong Ternaya, Danyon II Kandangan – Malimping – Banten; 3.Daidancho KH Syam’un, Danyon III Cilegon-Serang –Banten; 4.Daidancho Oeding Soerjaatmadja, Danyon IV Pandeglang – Banten; 5. Daidancho Mr.Kasman Singadimedja, Danyon I Harmoni – Jakarta; 6.Daidancho Soerjodipoetro, Danyon II Purwakarta; 7.Daidancho KH R Abdoellah bin Noeh, Danyon I Jampang Kulon; 8.Daidancho KH M. Basuni, Danyon II Pelabuhan Ratu; 9.Daidancho Kafrawi, Danyon III Sukabumi; 10. Daidancho R.D.Goenawan Resmipoetro, Danyon IV Cibeber – Cianjur; 11.Daidancho KH Soetalaksana, Danyon I Tasikmalaya; 12.Daidancho KH Pardjaman, Danyon II Pangandaran; 13. Daidancho KH.R.Aroedji Kartawinata, Danyon IV Cimahi; 14.Daidancho R.Sofyan Iskandar, Danyon V Garut; 15.Daidancho Abdoelgani Soerjokoesoemo, Danyon I Cirebon; 16.Daidancho R.Zaenal Asikin Joedibrata, Danyon II Majalengka-Indramayu; 17.Daidancho KH Iskandar Idris, Danyon I Pekalongan; 18.Daidancho KH Doerjatman, Danyon II Tegal; 19.Daidancho R.Soetirto, Danyon I Cilacap; 20.Daidancho R.Soesalit, Danyon II Sumpyuh; 21.Daidancho Soedirman, Danyon III Kroya; 22.Daidancho Isdiman, Danyon IV Banyumas; 23.Daidancho R.Abdoel Kadir/R.Bambang Soegeng, Danyon I Gombong; 24.Daidancho Mochamad Soesman, Danyon II Magelang; 25.Daidancho Djojo Koesoemo, Danyon III Gombong; 26.Daidancho Moekahar Ronohadikoesoemo, Danyon IV Purworejo; 27.Daidancho R.Oesman, Danyon I Mrican – semarang; 28.Daidancho R.Soedijono Taroeno Koesoemo, Danyon II Weleri-Kendal; 29.Daidancho Koesmoro Hadidewo, Danyon I Pati; 30.Daidancho Holan Iskandar, Danyon II Rembang; 31.Daidancho Prawiro Atmodjo, Danyin III Jepara; 32.Daidancho D.Martodjoemeno, Danyon I Wates-Yogyakarta; 33.Daidancho Mochamad Saleh, Danyon II Bantul; 34.Daidancho Soendjojo Poerbokoesoemo, Danyon III Pingit-Yogyakarta; 35.Daidancho Moeridan Noto, Danyon IV Wonosari-Yogyakarta; 36.Daidancho KH R.M.Moeljadi Djojomartono, Danyon I Manahan – Surakarta; 37.Daidancho KH Idris, Danyon II Wonogiri – Surakarta; 38.Daidancho Agoes Tojib, Danyon I Madiun; 39.Daidancho Akub Goelangge, Danyon II Pacitan; 40.Daidancho M.Soedjono, Danyon III Ponorogo; 41.Daidancho Soediro, Danyon I Tulungagung; 42.Daidancho Soerachmad, Danyon II Blitar; 43.Daidancho Anggris Joedodiprodjo/ Soejoto Djojopoernomo, Danyon III Sukorame-Kediri; 44.Daidancho Maskoer/Soedirman, Danyon I Babad-Bojonegoro; 45.Daidancho Masri, Danyon II Bancar – Tuban; 46.Daidancho Soemadi Sastroatmodjo, Danyon III Tuban Kota; 47.Daidancho Dr Soetopo, Danyon I Gunungsari – Surabaya; 48.Daidancho R Moechamad Mangoen Diprodjo; 49.Daidancho Katamhadi, Danyon III Mojokerto; 50.Daidancho KH Cholik Hasjim, Danyon IV Jombang; 51.Daidancho Drg.Moestopo, Danyon IV Gresik; 52.Daidancho KH Iskandar Soelaiman, Danyon I Gondanglegi-Malang; 53.Daidancho M.Soerjo Adikoesoemo, Danyon Danyon II Lumajang; 54.Daidancho Arsyid Kromodihardjo, Danyon III Pasuruan; 55.Daidancho Imam Soedja’i, Danyon IV Malang Kota; 56.Daidancho Soedarsono, Danyon V Probolinggo; 57.Daidancho Soewito, Danyon I Kencong-Jember; 58.Daidancho KH Tahirroeddin Tjakra Atmadja, Danyon II Bondowoso; 59.Daidancho Soekotjo, Danyon III Benculuk-Banyuwangi; 60.Daidancho Soerodjo/Astiklah, Danyon IV Jember; 61.Daidancho R Oesman Soemodinoto, Danyon V Sukowidi – Banyuwangi Kota; 62.Daidancho KH R Amin Dja’far, Danyon I Pamekasan; 63.Daidancho Roeslan Tjakraningrat, Danyon II Bangkalan; 64.Daidancho Abdoel Madjid, Danyon III Batang-batang; 65.Daidancho KH Hamid Moedhari, Danyon IV Ambunten – Sumenep; 66.Daidancho Trunodjojo, Danyon V Ketapang; 67.Daidancho I Made Putu, Danyon I Negara; 68.Daidancho I Gusti Ngurah Gedepoegeng, Danyon II Tabanan; 69.Daidancho Anak Agung Made Agung, Danyon III Klungkung.
Akibat cukup banyak kyai didikan pesantren yang menjabat komandan batalyon PETA, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?” (Sunyoto, 2016; Asmadi, 1985)
Pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Tentara Sukarela Hisbullah di Jakarta. Hisbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), KH Mawardi (Solo), KH Zarkasi (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Syahid (Kediri), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Thohir Dasuki (Surakarta), KH Roji’un (Jakarta), KH Munasir Ali (Mojokerto), KH Abdullah, KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dsb.
Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hisbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hisbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hisbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hisbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki (Hayat,dkk, 1995). Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan militer di PETA dan Hisbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Karena itu, saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, tetapi belum memiliki tentara sampai disindir Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, diikuti pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat), berbondong-bondonglah para pemuda untuk mendaftarkan diri bersama dengan mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang), KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger – pribumi yang jadi Angkatan Darat Hindia Belanda) dan masyarakat.
Sejak awal dibentuknya BKR yang kemudian menjadi TKR dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hisbullah serta Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon sejak BKR diubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945, mayoritas berasal dari kesatuan PETA, Hisbullah, Sabilillah, Seinendan, Keibodan, Heiho, masyarakat pejuang, dan bekas KNIL. Mereka itu, mayoritas adalah komandan battalion yang berlatar pendidikan pesantren seperti:
KH Kholiq Hasyim, KH Amien Djakfar, KH Abdoel Chamid, KH Iskandar Idris, KH Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, KH K. Ternaya, KH. Idris, KH. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam’oen, KH Iskandar Sulaiman, KH Zarkasi, KH Mursyid, KH Syahid, KH Abdullah, KH Zainudin, Sulthan Fajar, KH Abdul Manan Widjaja, KH Sulam Syamsun, KH Zein Thoyib, KH Abdullah Abbas, KH Yusuf Hasyim, KH Masykoer, KH Bisri Sjansoeri, KH Zainal Arifin, KH Moenasir Ali, KH Wahib Wahab, KH Jasin, KH Mansjoer Sholichy, KH Achjat Chalimi, KH Hasjim Latif, KH Anwar Zen, KH Hasan Sjaifurrizal, KH Zaini Moen’im, KH Djoenaidi, KH Asnawi Hadisiswoyo, KH R. Salimoelhadi, KH Bolkin, K. Mahfudz, K. P. Hadisoenarto, KH Abdoel Moeslim, KH Moeslim, KH Dimjati Moeid, K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K H. Soedjak, K. Asfani, K. Abdoel Syoekoer, K.Djarkasi, dll (Anderson, 1972; Hayat, 1995; El-Khayyis, 2015).
Pada saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) kemudian TKR berubah menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) hingga menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), sejumlah tokoh kyai dari pesantren menduduki posisi strategi dengan pangkat tinggi. Selama masa revolusi kemerdekaan (1945-1948) tercatat sejumlah perwira TNI berlatar pendidikan pesantren yang berasal dari pesantren seperti Mayor KH Iskandar Sulaiman (Wakil Komandan Brigade Narotama, Malang), Mayor KH Munasir Ali (Komandan Batalyon Condromowo, Mojokerto-Jombang), Sulthan Fajar (Komandan Resimen Mujahidin dari Brigade 13 Divisi VII Karesidenan Besuki), Mayor KH Mahfudz (Komandan Batalyon 508 Kodam Brawijaya), KH Zainul Arifin (Komandan Tertinggi Divisi Barisan Hisbullah), Letkol K.H. M. Munawar (Komandan Resimen Hisbullah pada Divisi Sunan Bonang Surakarta, kelak jadi Resimen 6 Brigade 24), Letkol KH Iskandar Idris (Komandan Brigade Nusantara di Pekalongan), Mayor Ahmad Bakri (Komandan Batalyon 18), Mayor A. Gafar Ismail (Komandan Batalyon 19), Brigjen KH Sulam Syamsun, Mayor Hamid Rusdi, Beigjen Abdul Manan Widjaja, Mayor KH A.Cholik Hasjim, Brigjen KH M. Rowi, Brigjen. Zein Thayib, Kapten KH Yusuf Hasyim, dsb.
Marjinalisasi TNI Didikan Pesantren
Fenomena penduduk pribumi bersekolah terjadi sewaktu pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan Politik Etis pada 1901, di mana anak-anak Pribumi Muslim dididik di lembaga sekolah yang ditegakkan di atas dasar filsafat positivisme. Sekolah untuk pribumi seperti Holland Inlands School (HIS), Meer Uitgebreid Lager School (MULO), Hoogere Burger School (HBS), Algemeene Middlebare School (AMS), School Tot Opleiding vor Inlandsche Artsen (STOVIA) menjadi alternatif pilihan bagi anak-anak pribumi untuk menuntut ilmu. Keberadaan lembaga sekolah pemerintah itu menjadikan sistem persekolahan menjadi pilihan utama bagi masyarakat agar bisa menjadi manusia ‘modern’ dan memperoleh lapangan pekerjaan dari pemerintah kolonial.
Karena latar filosofis sekolah adalah positivisme, maka orang-orang yang terproses dalam pendidikan sekolah memandang rendah keberadaan pesantren yang berlatar agama. Itu sebabnya, ketika para lulusan sekolah menduduki jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan RI, terjadi usaha-usaha memarjinalisasi orang-orang berlatar pesantren dari struktur pemerintahan. Hal itu terbukti saat Perdana Menteri RI tahun 1948, merancang usaha sistematis untuk memarjinalisasi keberadaan para elit di pemerintahan dan militer yang berasal dari pesantren. Kebijakan itu dikenal sebagai Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Rera), yang awal sekali diterapkan di lingkungan TNI dengan alasan menjadikan militer profesional. Ukuran yang dijadikan parameter dalam Restrukturisasi dan Rasionalisasi itu, adalah ijazah sekolah. Maksudnya, professional dan tidaknya seseorang dalam kemiliteran harus dibuktikan secara formal dengan kepemilikan ijazah sekolah.
Kebijakan sepihak pemerintahan inilah yang menjadi salah satu pemicu lahirnya kekecewaan sebagian perwira TNI muslim berlatar pendidikan sekolah, di mana kekecewaan itu justru diletuskan dalam bentuk gerakan makar DI/TII yang dirancang dan dijalankan orang-orang berlatar pendidikan sekolah formal seperti Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar, Daud Beureuh yang diikuti sebagian kecil militer berlatar pesantren. Peristiwa-peristiwa tragis yang menimpa tokoh-tokoh militer berlatar pesantren sebagaimana ditulis Pinardi (1964) dan Cornelijs Van Dijk (1983), sejatinya bermula dari kebijakan pemerintah dalam Rera yang disikapi secara reaktif oleh tokoh-tokoh militer berlatar sekolah formal. Dan sejarah negara-bangsa Indonesia – terutama sejarah pembentukan TNI yang ditulis oleh orang-orang berlatar pendidikan sekolah – menafikan seluruh peranan umat Islam yang berasal dari pesantren, seolah-olah pesantren tidak sedikit pun memiliki peranan dalam melahirkan TNI.
Sekalipun aspirasi kalangan muslim tradisional terpinggirkan dari lingkaran kekuasaan politis pasca kebijakan Rera, namun dukungan para perwira TNI didikan pesantren terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak pernah surut. Sejarah mencatat, kesetiaan kalangan perwira-perwira muslim didikan pesantren terhadap Negara Indonesia setidaknya terlihat dari keterlibatan mereka dalam usaha penumpasan gerakan makar yang dilakukan golongan kiri di Madiun, gerakan makar DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta 1957 - 1960, makar PKI 1965. Sepanjang sejarah tegaknya NKRI, belum pernah tercatat ada gerakan umat Islam tradisional didikan pesantren yang melakukan kegiatan makar terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan saat ditetapkan Pancasila sebagai azas tunggal dalam bernegara dan bermasyarakat, kalangan muslim tradisional maju ke garda terdepan dan menyatakan bahwa NKRI dengan landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusionil UUD 1945 adalah bentuk final negara yang diidealkan umat Islam Indonesia, di mana hal tersebut dibuktikan dengan gerakan-gerakan riil kalangan muslim tradisional untuk menolak usaha-usaha kalangan muslim modernis dan muslim fundamental yang menghendaki diberlakukannya Syariat Islam di Indonesia, yang bahkan belakangan akan diwujudkan dalam bentuk kekuasaan Khilafah Islamiyyah.
Tinta emas sejarah menggoreskan catatan bahwa sejak awal didirikan, TNI sudah mengibarkan panji-panji ideal sebagai ‘Tentara Pejuang’ yang berasal dari rakyat untuk Bangsa dan Negara, karena TNI bukanlah institusi Negara yang dibentuk begitu saja untuk melengkapi pembentukan Negara Indonesia.
Sejarah mencatat, sampai memasuki bulan September 1945 Negara Indonesia yang dibentuk 18 Agustus 1945 belum dilengkapi institusi militer, sampai Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, yang mantan perwira KNIL menyindir,”Aneh Indonesia ini, ada Negara zonder tentara.” Setelah itu, dibentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat), yang merupakan embrio lahirnya TNI.
Jauh sebelum lahir secara formal sebagai Tentara Nasional Indonesia, keberadaan institusi militer sudah menjadi bagian integral dari Negara-negara tradisional semenjak jaman Kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, Sunda, Kalingga, Mataram, Janggala, Panjalu, Singasari, Majapahit, Demak, Cirebon, Banten, dan kesultanan-kesultanan di berbagai daerah di Nusantara. Belum pernah terjadi, sebuah Negara tradisional yang tidak memiliki institusi militer. Bahkan jauh melampaui institusi kemiliteran, jiwa perjuangan dan kejuangan beserta perlawanan terhadap semua bentuk penjajahan dan penindasan dari kekuatan asing terhadap Bangsa Indonesia sudah dinyalakan dalam kobaran api perlawanan sejak kolonialis-imperialis Eropa seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Perancis datang susul-menyusul ke Indonesia untuk menaklukkan, menjajah, merendahkan, mengeksploitasi, menebar kesengsaraan dan penderitaan bagi Bangsa Indonesia.
Tinta emas sejarah mencatat bahwa sejak awal kedatangan Bangsa Portugis yang dilanjutkan Belanda dan Inggris di Nusantara, umat Islam tidak pernah berhenti melakukan perlawanan bersenjata, di mana pemimpin-pemimpin perlawanan umumnya berasal dari kalangan pemuka tarekat yang mendukung penguasa-penguasa pribumi untuk melawan penjajah. Lantaran itu, di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia telah tersebar rasa takut terhadap tarekat, karena mereka yakin bahwa gerakan tarekat akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak melawan pemerintah Kolonial Belanda (Suminto, 1985). Meski perlawanan awal terhadap kolonialis-imperialis Eropa sudah dilakukan sejak armada Demak menggempur Portugis yang menaklukkan Malaka tahun 1512, yang disusul Perang Portugis – Fatahillah 1522 dan selanjutnya Perang Portugis-Aceh tahun 1536, Perang Portugis – Johor-Siak-Inderagiri-Jepara, Perang Portugis-Ternate di bawah Sultan Baabullah, Perang VOC Belanda – Mataram di era Sultan Agung 1626 dan 1629, Perang VOC Belanda - Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa dengan dukungan Syaikh Yusuf Tajul Khalwati Al-Makassari, Perang VOC – Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, Perang suksesi Mataram 1670 – 1755 yang melibatkan Trunojoyo, Karaeng Galesong, Panembahan Giri, Panembahan Rama Kajoran, disusul perlawanan Surapati, pemberontakan Bupati Kasepuhan Surabaya Jayapuspita dan Bupati Kanoman Surabaya Jangrana III, yang dilanjut pemberontakan Tumenggung Sasranegara Sawunggaling, Geger Pacinan, perlawanan Malang dan Lumajang, hingga VOC dibubarkan 31 desember 1799 untuk diganti Pemerintah Hindia Belanda, perlawanan pribumi muslim yang dipimpin guru tarekat dan ulama pesantren senantiasa menjadi keniscayaan. Koloniaal Archive mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda ditegakkan menggantikan VOC tahun 1800 hingga tahun 1900, terjadi 112 kali perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Namun semua perlawanan itu kurang membawa hasil yang memuaskan, terutama karena para pemimpin perlawanan – guru tarekat dan ulama pesantren -- hanya didukung oleh kalangan petani, tukang, perajin, pedagang kecil, dan santri-santri yang tidak memiliki dasar kemiliteran. Sejarah mencatat, betapa kekuatan besar massa rakyat yang tidak terlatih selalu kalah ketika berhadapan dengan tentara kolonial yang terlatih seperti KNIL dan marsose (Kartodirdjo, 1973; Notosusanto, 1971; Abdul Azis, 1955)
Tinta emas sejarah mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda tunduk kepada Jepang di Kalijati, Subang, pada 8 Maret 1942, kekuasaan pindah tangan kepada imperialism Jepang yang berkuasa di Indonesia. Sekali pun Jepang berkuasa dengan tangan besi, namun terjadi perubahan besar-besaran dalam peri kehidupan rakyat Indonesia terutama dalam kaitan dengan pengembangan doktrin kemiliteran. Fakta sejarah mencatat bahwa pemerintah militer Jepang di Indonesia telah menciptakan satuan-satuan militer dan para militer berskala nasional yang terdiri dari pribumi-pribumi Indonesia, termasuk di dalamnya komunitas muslim yang berasal dari pesantren. Pada 29 Maret 1942 – dua minggu setelah Jepang berkuasa – dibentuklah Barisan Pemuda yang terdiri atas Barisan Seinendan (usia 14 – 22 tahun) dengan jumlah 5.00.000 orang dan Barisan Keibodan (usia 23 – 33 tahun) dengan jumlah 100.00 orang. Kedua barisan ini diberi pelajaran baris-berbaris dan latihan perang-perangan (kyoren). Murid-murid sekolah pun diorganisasi ke dalam barisan pelajar sekolah menengah (Gakkotonari) yang terdiri dari Chugakko (untuk siswa SLTP) dan Daigakko (untuk siswa SLTA). Sedang untuk mahasiswa dibentuk Himpunan Mahasiswa yang disebut Gakkutai. Mereka semua diberi pelajaran kyoren (Benda, 1985; Asmadi, 1985; Brugmans, 1960).
Pendidikan Kemiliteran Jepang
Pada 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan Jepang Letnan Jendral Kumakichi Harada mengeluarkan Osamu Osirei No.44 tentang pembentukan Boei Gyu Gun Kanbu Renseitai atau tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri atas 69 batalyon di Jawa dan Bali. Sebagian di antara komandan batalyon PETA yang terpilih dengan pangkat Daidancho (Mayor) adalah para kiai dari komunitas pesantren, yang dewasa itu akrab dengan amaliah tarekat. Itu terlihat saat latihan pertama PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943 di dekat istana Bogor, yang diikuti peresmian nama-nama perwira berpangkat mayor, sebagaimana tercatat pada nama-nama perwira PETA yang berkedudukan komandan Batalion:
1.Daidancho KH Tubagus Achmad Chatib, Danyon I ,Labuan - Banten; 2.Daidancho K. E. Oyong Ternaya, Danyon II Kandangan – Malimping – Banten; 3.Daidancho KH Syam’un, Danyon III Cilegon-Serang –Banten; 4.Daidancho Oeding Soerjaatmadja, Danyon IV Pandeglang – Banten; 5. Daidancho Mr.Kasman Singadimedja, Danyon I Harmoni – Jakarta; 6.Daidancho Soerjodipoetro, Danyon II Purwakarta; 7.Daidancho KH R Abdoellah bin Noeh, Danyon I Jampang Kulon; 8.Daidancho KH M. Basuni, Danyon II Pelabuhan Ratu; 9.Daidancho Kafrawi, Danyon III Sukabumi; 10. Daidancho R.D.Goenawan Resmipoetro, Danyon IV Cibeber – Cianjur; 11.Daidancho KH Soetalaksana, Danyon I Tasikmalaya; 12.Daidancho KH Pardjaman, Danyon II Pangandaran; 13. Daidancho KH.R.Aroedji Kartawinata, Danyon IV Cimahi; 14.Daidancho R.Sofyan Iskandar, Danyon V Garut; 15.Daidancho Abdoelgani Soerjokoesoemo, Danyon I Cirebon; 16.Daidancho R.Zaenal Asikin Joedibrata, Danyon II Majalengka-Indramayu; 17.Daidancho KH Iskandar Idris, Danyon I Pekalongan; 18.Daidancho KH Doerjatman, Danyon II Tegal; 19.Daidancho R.Soetirto, Danyon I Cilacap; 20.Daidancho R.Soesalit, Danyon II Sumpyuh; 21.Daidancho Soedirman, Danyon III Kroya; 22.Daidancho Isdiman, Danyon IV Banyumas; 23.Daidancho R.Abdoel Kadir/R.Bambang Soegeng, Danyon I Gombong; 24.Daidancho Mochamad Soesman, Danyon II Magelang; 25.Daidancho Djojo Koesoemo, Danyon III Gombong; 26.Daidancho Moekahar Ronohadikoesoemo, Danyon IV Purworejo; 27.Daidancho R.Oesman, Danyon I Mrican – semarang; 28.Daidancho R.Soedijono Taroeno Koesoemo, Danyon II Weleri-Kendal; 29.Daidancho Koesmoro Hadidewo, Danyon I Pati; 30.Daidancho Holan Iskandar, Danyon II Rembang; 31.Daidancho Prawiro Atmodjo, Danyin III Jepara; 32.Daidancho D.Martodjoemeno, Danyon I Wates-Yogyakarta; 33.Daidancho Mochamad Saleh, Danyon II Bantul; 34.Daidancho Soendjojo Poerbokoesoemo, Danyon III Pingit-Yogyakarta; 35.Daidancho Moeridan Noto, Danyon IV Wonosari-Yogyakarta; 36.Daidancho KH R.M.Moeljadi Djojomartono, Danyon I Manahan – Surakarta; 37.Daidancho KH Idris, Danyon II Wonogiri – Surakarta; 38.Daidancho Agoes Tojib, Danyon I Madiun; 39.Daidancho Akub Goelangge, Danyon II Pacitan; 40.Daidancho M.Soedjono, Danyon III Ponorogo; 41.Daidancho Soediro, Danyon I Tulungagung; 42.Daidancho Soerachmad, Danyon II Blitar; 43.Daidancho Anggris Joedodiprodjo/ Soejoto Djojopoernomo, Danyon III Sukorame-Kediri; 44.Daidancho Maskoer/Soedirman, Danyon I Babad-Bojonegoro; 45.Daidancho Masri, Danyon II Bancar – Tuban; 46.Daidancho Soemadi Sastroatmodjo, Danyon III Tuban Kota; 47.Daidancho Dr Soetopo, Danyon I Gunungsari – Surabaya; 48.Daidancho R Moechamad Mangoen Diprodjo; 49.Daidancho Katamhadi, Danyon III Mojokerto; 50.Daidancho KH Cholik Hasjim, Danyon IV Jombang; 51.Daidancho Drg.Moestopo, Danyon IV Gresik; 52.Daidancho KH Iskandar Soelaiman, Danyon I Gondanglegi-Malang; 53.Daidancho M.Soerjo Adikoesoemo, Danyon Danyon II Lumajang; 54.Daidancho Arsyid Kromodihardjo, Danyon III Pasuruan; 55.Daidancho Imam Soedja’i, Danyon IV Malang Kota; 56.Daidancho Soedarsono, Danyon V Probolinggo; 57.Daidancho Soewito, Danyon I Kencong-Jember; 58.Daidancho KH Tahirroeddin Tjakra Atmadja, Danyon II Bondowoso; 59.Daidancho Soekotjo, Danyon III Benculuk-Banyuwangi; 60.Daidancho Soerodjo/Astiklah, Danyon IV Jember; 61.Daidancho R Oesman Soemodinoto, Danyon V Sukowidi – Banyuwangi Kota; 62.Daidancho KH R Amin Dja’far, Danyon I Pamekasan; 63.Daidancho Roeslan Tjakraningrat, Danyon II Bangkalan; 64.Daidancho Abdoel Madjid, Danyon III Batang-batang; 65.Daidancho KH Hamid Moedhari, Danyon IV Ambunten – Sumenep; 66.Daidancho Trunodjojo, Danyon V Ketapang; 67.Daidancho I Made Putu, Danyon I Negara; 68.Daidancho I Gusti Ngurah Gedepoegeng, Danyon II Tabanan; 69.Daidancho Anak Agung Made Agung, Danyon III Klungkung.
Akibat cukup banyak kyai didikan pesantren yang menjabat komandan batalyon PETA, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?” (Sunyoto, 2016; Asmadi, 1985)
Pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Tentara Sukarela Hisbullah di Jakarta. Hisbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), KH Mawardi (Solo), KH Zarkasi (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Syahid (Kediri), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Thohir Dasuki (Surakarta), KH Roji’un (Jakarta), KH Munasir Ali (Mojokerto), KH Abdullah, KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dsb.
Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hisbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hisbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hisbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hisbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki (Hayat,dkk, 1995). Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan militer di PETA dan Hisbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Karena itu, saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, tetapi belum memiliki tentara sampai disindir Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, diikuti pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat), berbondong-bondonglah para pemuda untuk mendaftarkan diri bersama dengan mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang), KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger – pribumi yang jadi Angkatan Darat Hindia Belanda) dan masyarakat.
Sejak awal dibentuknya BKR yang kemudian menjadi TKR dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hisbullah serta Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon sejak BKR diubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945, mayoritas berasal dari kesatuan PETA, Hisbullah, Sabilillah, Seinendan, Keibodan, Heiho, masyarakat pejuang, dan bekas KNIL. Mereka itu, mayoritas adalah komandan battalion yang berlatar pendidikan pesantren seperti:
KH Kholiq Hasyim, KH Amien Djakfar, KH Abdoel Chamid, KH Iskandar Idris, KH Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, KH K. Ternaya, KH. Idris, KH. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam’oen, KH Iskandar Sulaiman, KH Zarkasi, KH Mursyid, KH Syahid, KH Abdullah, KH Zainudin, Sulthan Fajar, KH Abdul Manan Widjaja, KH Sulam Syamsun, KH Zein Thoyib, KH Abdullah Abbas, KH Yusuf Hasyim, KH Masykoer, KH Bisri Sjansoeri, KH Zainal Arifin, KH Moenasir Ali, KH Wahib Wahab, KH Jasin, KH Mansjoer Sholichy, KH Achjat Chalimi, KH Hasjim Latif, KH Anwar Zen, KH Hasan Sjaifurrizal, KH Zaini Moen’im, KH Djoenaidi, KH Asnawi Hadisiswoyo, KH R. Salimoelhadi, KH Bolkin, K. Mahfudz, K. P. Hadisoenarto, KH Abdoel Moeslim, KH Moeslim, KH Dimjati Moeid, K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K H. Soedjak, K. Asfani, K. Abdoel Syoekoer, K.Djarkasi, dll (Anderson, 1972; Hayat, 1995; El-Khayyis, 2015).
Pada saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) kemudian TKR berubah menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) hingga menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), sejumlah tokoh kyai dari pesantren menduduki posisi strategi dengan pangkat tinggi. Selama masa revolusi kemerdekaan (1945-1948) tercatat sejumlah perwira TNI berlatar pendidikan pesantren yang berasal dari pesantren seperti Mayor KH Iskandar Sulaiman (Wakil Komandan Brigade Narotama, Malang), Mayor KH Munasir Ali (Komandan Batalyon Condromowo, Mojokerto-Jombang), Sulthan Fajar (Komandan Resimen Mujahidin dari Brigade 13 Divisi VII Karesidenan Besuki), Mayor KH Mahfudz (Komandan Batalyon 508 Kodam Brawijaya), KH Zainul Arifin (Komandan Tertinggi Divisi Barisan Hisbullah), Letkol K.H. M. Munawar (Komandan Resimen Hisbullah pada Divisi Sunan Bonang Surakarta, kelak jadi Resimen 6 Brigade 24), Letkol KH Iskandar Idris (Komandan Brigade Nusantara di Pekalongan), Mayor Ahmad Bakri (Komandan Batalyon 18), Mayor A. Gafar Ismail (Komandan Batalyon 19), Brigjen KH Sulam Syamsun, Mayor Hamid Rusdi, Beigjen Abdul Manan Widjaja, Mayor KH A.Cholik Hasjim, Brigjen KH M. Rowi, Brigjen. Zein Thayib, Kapten KH Yusuf Hasyim, dsb.
Marjinalisasi TNI Didikan Pesantren
Fenomena penduduk pribumi bersekolah terjadi sewaktu pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan Politik Etis pada 1901, di mana anak-anak Pribumi Muslim dididik di lembaga sekolah yang ditegakkan di atas dasar filsafat positivisme. Sekolah untuk pribumi seperti Holland Inlands School (HIS), Meer Uitgebreid Lager School (MULO), Hoogere Burger School (HBS), Algemeene Middlebare School (AMS), School Tot Opleiding vor Inlandsche Artsen (STOVIA) menjadi alternatif pilihan bagi anak-anak pribumi untuk menuntut ilmu. Keberadaan lembaga sekolah pemerintah itu menjadikan sistem persekolahan menjadi pilihan utama bagi masyarakat agar bisa menjadi manusia ‘modern’ dan memperoleh lapangan pekerjaan dari pemerintah kolonial.
Karena latar filosofis sekolah adalah positivisme, maka orang-orang yang terproses dalam pendidikan sekolah memandang rendah keberadaan pesantren yang berlatar agama. Itu sebabnya, ketika para lulusan sekolah menduduki jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan RI, terjadi usaha-usaha memarjinalisasi orang-orang berlatar pesantren dari struktur pemerintahan. Hal itu terbukti saat Perdana Menteri RI tahun 1948, merancang usaha sistematis untuk memarjinalisasi keberadaan para elit di pemerintahan dan militer yang berasal dari pesantren. Kebijakan itu dikenal sebagai Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Rera), yang awal sekali diterapkan di lingkungan TNI dengan alasan menjadikan militer profesional. Ukuran yang dijadikan parameter dalam Restrukturisasi dan Rasionalisasi itu, adalah ijazah sekolah. Maksudnya, professional dan tidaknya seseorang dalam kemiliteran harus dibuktikan secara formal dengan kepemilikan ijazah sekolah.
Kebijakan sepihak pemerintahan inilah yang menjadi salah satu pemicu lahirnya kekecewaan sebagian perwira TNI muslim berlatar pendidikan sekolah, di mana kekecewaan itu justru diletuskan dalam bentuk gerakan makar DI/TII yang dirancang dan dijalankan orang-orang berlatar pendidikan sekolah formal seperti Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar, Daud Beureuh yang diikuti sebagian kecil militer berlatar pesantren. Peristiwa-peristiwa tragis yang menimpa tokoh-tokoh militer berlatar pesantren sebagaimana ditulis Pinardi (1964) dan Cornelijs Van Dijk (1983), sejatinya bermula dari kebijakan pemerintah dalam Rera yang disikapi secara reaktif oleh tokoh-tokoh militer berlatar sekolah formal. Dan sejarah negara-bangsa Indonesia – terutama sejarah pembentukan TNI yang ditulis oleh orang-orang berlatar pendidikan sekolah – menafikan seluruh peranan umat Islam yang berasal dari pesantren, seolah-olah pesantren tidak sedikit pun memiliki peranan dalam melahirkan TNI.
Sekalipun aspirasi kalangan muslim tradisional terpinggirkan dari lingkaran kekuasaan politis pasca kebijakan Rera, namun dukungan para perwira TNI didikan pesantren terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak pernah surut. Sejarah mencatat, kesetiaan kalangan perwira-perwira muslim didikan pesantren terhadap Negara Indonesia setidaknya terlihat dari keterlibatan mereka dalam usaha penumpasan gerakan makar yang dilakukan golongan kiri di Madiun, gerakan makar DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta 1957 - 1960, makar PKI 1965. Sepanjang sejarah tegaknya NKRI, belum pernah tercatat ada gerakan umat Islam tradisional didikan pesantren yang melakukan kegiatan makar terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan saat ditetapkan Pancasila sebagai azas tunggal dalam bernegara dan bermasyarakat, kalangan muslim tradisional maju ke garda terdepan dan menyatakan bahwa NKRI dengan landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusionil UUD 1945 adalah bentuk final negara yang diidealkan umat Islam Indonesia, di mana hal tersebut dibuktikan dengan gerakan-gerakan riil kalangan muslim tradisional untuk menolak usaha-usaha kalangan muslim modernis dan muslim fundamental yang menghendaki diberlakukannya Syariat Islam di Indonesia, yang bahkan belakangan akan diwujudkan dalam bentuk kekuasaan Khilafah Islamiyyah.
Label:
sejarah
08.59
SEKILAS BABAD TAWANGALUN
Oleh: Mohammad Khoiron*)
Blambangan Sebagai Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, Hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama, yang memimpin penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi berada di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di wilayah Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur” yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa “Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti. Rupanya kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan resmi dari Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana Majapahit lain untuk mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”) antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406), bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi pendeta. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon, Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359 Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas.Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama “Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu, melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi. Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit.Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana, tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit. Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dariwilayah Blambangan. Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”. Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun 1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih, Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008: 511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan perang dari Bali, kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I (Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan. Diberitakan, raja Blambangan—yang dipastikan adalah Tawang Alun—dan para pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, Tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
Blambangan Sebagai Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, Hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama, yang memimpin penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi berada di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di wilayah Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur” yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa “Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti. Rupanya kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan resmi dari Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana Majapahit lain untuk mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”) antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406), bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi pendeta. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon, Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359 Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas.Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama “Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu, melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi. Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit.Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana, tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit. Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dariwilayah Blambangan. Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”. Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun 1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih, Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008: 511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan perang dari Bali, kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I (Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan. Diberitakan, raja Blambangan—yang dipastikan adalah Tawang Alun—dan para pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, Tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
*) Mohammad Khoiron, Mahasiswa Program Pasca Sarjana STAINU Jakarta
Label:
sejarah
11.11
RAHASIA DI BALIK LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA (NU)
Written By lesbumi on Selasa, 27 Desember 2016 | 11.11
Teks Translit Pidato KH. As'ad Syamsul Arifin
(KH As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH. Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH. Hasyim Asyari mendirikan Jam’iyah Ulama yang akhirnya bernama Nahdlatul Ulama. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya).
Assalamu’alaikum Wr. Wb. yang akan saya sampaikan pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada Anda semua. ANDA suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya).
Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya).
Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU?
Tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, Pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.
Begini, umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam. Menurut orang sekarang Islam Ahlussunah wal Jama’ah, syariat Islam dari Rasulullah Saw. yang beraliran salah satu empat madzhab khususnya madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia.
.
Madzhab-madzhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah.
Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia.
Masing-masing ulama melaporkan: “Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.”
Kyai Muntaha berkata: “Apa keperluannya?”
“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kyai Kholil.”
Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: “Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubat ayat 32)
.
Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendakNya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha.”
Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. “Saya puas sekarang” kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.
Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini.
Seperti apa, seperti apa? Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir. para Kyai berkata: “Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.” Sampai tahun 1923, kata Kyai satu: “Mendirikan Jamiyah (organisasi)”, kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.” Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.”
Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini.
Kemudian ada satu ulama yang matur (menghadap) sama Kyai: “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini (Kyai As'ad berkata: “Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja”): “Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): “Islam Ahlussunah wal Jama’ah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Bawa ke Indonesia.”
Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini.
Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugasi ke Madinah.
.
Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insya Allah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.
Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: “As'ad, ke sini kamu!”
Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). “Arrahman Arrahim…”
Kyai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”
“Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.”
Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.
Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cedal itu? Sudah sembuh cedalnya?”
“Sudah Kyai.”
“Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari Jombang. Tahu rumahnya?”
“Tahu.”
“Kok tahu? Pernah mondok di sana?”
“Tidak. Pernah sowan.”
“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.”
“Ya, kyai.”
“Kamu punya uang?”
“Tidak punya, kyai.”
“Ini.”
Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.
Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: “Ke sini kamu! Ada ongkosnya?”
“Ada kyai.”
“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”
Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca QS. Thaha ayat 17-21):
.
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel: “Orang ini gila. Muda pegang tongkat.”
Ada yang lain bilang: “Ini wali.”
Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu.
Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.
Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): “Siapa ini?”
“Saya, Kyai.”
“Anak mana?”
“Dari Madura, Kyai.”
“Siapa namanya?”
“As'ad.”
“Anaknya siapa?”
“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.”
“Anaknya Maimunah kamu?”
“Ya, Kyai”
“Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?”
“Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat.”
“Tongkat apa?”
“Ini, Kyai.”
“Sebentar, sebentar…”
Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?”
Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
.
“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.”
Inilah rencana mendirikan Jam’iyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jam’iyah Ulama. Saya tidak mengerti.
Setelah itu saya mau pulang. “Mau pulang kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Cukup uang sakunya?”
“Cukup, Kyai.”
“Saya cukup didoakan saja, Kyai.”
“Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.”
Inilah asalnya Jam’iyatul Ulama.
Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: “As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”
“Tidak, Kyai.”
“Hasyim Asy'ari?”
“Ya, Kyai.”
“Di mana rumahnya.”
“Tebuireng.”
“Dari mana asalnya?”
“Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy’ari Keras.”
“Ya, benar. Di mana Keras?”
“Di baratnya Seblak.”
“Ya, kok tahu kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Ini tasbih antarkan.”
“Ya, Kyai.”
Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.
Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: “Ke sini, makan dulu!”
“Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,”
“Dari mana kamu dapat?”
“Saya beli di jalan, Kyai”
“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?”
“Ya, Kyai.”
Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: “Cukup itu?”
“Cukup, Kyai.”
“Tidak!”
.
Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.
“Ini.”
Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. “Kok leher?”
“Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.”
“Ya, kalau begitu.”
Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu: “Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.” Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya.
Ada yang narik: “Karcis! karcis!”
Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.
Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya: “Apa itu?”
“Saya mengantarkan tasbih.”
“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”
“Ini, Kyai.” (dengan menjulurkan leher).
“Lho?”
“Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.”
Kemudian diambil oleh Kyai: “Apa kata Kyai?”
“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.”
“Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.
Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jam’iyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada Gubernur Jenderal. Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan.
Nb. File rekaman diperoleh dari Gus Adib Mursyid, MAg. pada Jum’at 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialihbahasakan oleh Moh. Ma'ruf Khozin.
(KH As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH. Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH. Hasyim Asyari mendirikan Jam’iyah Ulama yang akhirnya bernama Nahdlatul Ulama. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya).
Assalamu’alaikum Wr. Wb. yang akan saya sampaikan pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada Anda semua. ANDA suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya).
Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya).
Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU?
Tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, Pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.
Begini, umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam. Menurut orang sekarang Islam Ahlussunah wal Jama’ah, syariat Islam dari Rasulullah Saw. yang beraliran salah satu empat madzhab khususnya madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia.
.
Madzhab-madzhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah.
Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia.
Masing-masing ulama melaporkan: “Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.”
Kyai Muntaha berkata: “Apa keperluannya?”
“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kyai Kholil.”
Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: “Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubat ayat 32)
.
Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendakNya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha.”
Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. “Saya puas sekarang” kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.
Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini.
Seperti apa, seperti apa? Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir. para Kyai berkata: “Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.” Sampai tahun 1923, kata Kyai satu: “Mendirikan Jamiyah (organisasi)”, kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.” Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.”
Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini.
Kemudian ada satu ulama yang matur (menghadap) sama Kyai: “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini (Kyai As'ad berkata: “Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja”): “Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): “Islam Ahlussunah wal Jama’ah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Bawa ke Indonesia.”
Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini.
Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugasi ke Madinah.
.
Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insya Allah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.
Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: “As'ad, ke sini kamu!”
Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). “Arrahman Arrahim…”
Kyai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”
“Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.”
Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.
Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cedal itu? Sudah sembuh cedalnya?”
“Sudah Kyai.”
“Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari Jombang. Tahu rumahnya?”
“Tahu.”
“Kok tahu? Pernah mondok di sana?”
“Tidak. Pernah sowan.”
“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.”
“Ya, kyai.”
“Kamu punya uang?”
“Tidak punya, kyai.”
“Ini.”
Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.
Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: “Ke sini kamu! Ada ongkosnya?”
“Ada kyai.”
“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”
Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca QS. Thaha ayat 17-21):
.
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel: “Orang ini gila. Muda pegang tongkat.”
Ada yang lain bilang: “Ini wali.”
Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu.
Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.
Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): “Siapa ini?”
“Saya, Kyai.”
“Anak mana?”
“Dari Madura, Kyai.”
“Siapa namanya?”
“As'ad.”
“Anaknya siapa?”
“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.”
“Anaknya Maimunah kamu?”
“Ya, Kyai”
“Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?”
“Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat.”
“Tongkat apa?”
“Ini, Kyai.”
“Sebentar, sebentar…”
Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?”
Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
.
“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.”
Inilah rencana mendirikan Jam’iyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jam’iyah Ulama. Saya tidak mengerti.
Setelah itu saya mau pulang. “Mau pulang kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Cukup uang sakunya?”
“Cukup, Kyai.”
“Saya cukup didoakan saja, Kyai.”
“Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.”
Inilah asalnya Jam’iyatul Ulama.
Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: “As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”
“Tidak, Kyai.”
“Hasyim Asy'ari?”
“Ya, Kyai.”
“Di mana rumahnya.”
“Tebuireng.”
“Dari mana asalnya?”
“Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy’ari Keras.”
“Ya, benar. Di mana Keras?”
“Di baratnya Seblak.”
“Ya, kok tahu kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Ini tasbih antarkan.”
“Ya, Kyai.”
Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.
Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: “Ke sini, makan dulu!”
“Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,”
“Dari mana kamu dapat?”
“Saya beli di jalan, Kyai”
“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?”
“Ya, Kyai.”
Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: “Cukup itu?”
“Cukup, Kyai.”
“Tidak!”
.
Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.
“Ini.”
Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. “Kok leher?”
“Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.”
“Ya, kalau begitu.”
Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu: “Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.” Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya.
Ada yang narik: “Karcis! karcis!”
Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.
Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya: “Apa itu?”
“Saya mengantarkan tasbih.”
“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”
“Ini, Kyai.” (dengan menjulurkan leher).
“Lho?”
“Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.”
Kemudian diambil oleh Kyai: “Apa kata Kyai?”
“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.”
“Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.
Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jam’iyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada Gubernur Jenderal. Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan.
Nb. File rekaman diperoleh dari Gus Adib Mursyid, MAg. pada Jum’at 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialihbahasakan oleh Moh. Ma'ruf Khozin.
Label:
sejarah
11.34
Siapa yang tak kenal dengan Kota Tarakan, turis domestik maupun mancanegera mengetahui, Kota Tarakan merupakan kota bersejarah perang Dunia ke II, bahkan pesona keindahan bangunan peninggalan bersejarah seperti Rumah Iglo atau yang sering disebut masyarakat sekitar dengan Rumah Bundar yang sudah berdiri sejak tahun 1938, bahkan sampai saat ini masih dapat dilihat bangunannya di Jalan Jendral Sudirman, atau tepat disamping gedung DPRD Tarakan..
Uniknya pondasi rumah ini ternyata terbuat dari batu karang yang diambil dari Pulau Melulun yang dahulunya salah satu pulau bagian daerah Tarakan, namun sayangnya akibat pengerukan yang terus dilakukan oleh pasukan Belanda sebagai bahan baku pembuatan bangunan menjadikan pulau tersebut tidak ada lagi.
Pada tahun 1945 Rumah Bundar digunakan sebagai rumah tinggal bagi tentara Australia untuk sementara waktu sebelum kembali ke negaranya, tentara Australia dalam sejarah kelam perang Dunia ke II merupakan sekutu pasukan Belanda dalam melakukan a agresi penjajahan di Indonesia.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia rumah ini digunakan kembali oleh pejabat-pejabat Indonesia, namun sayang kelestarian rumah ini yang masih bertahan dari segi arsitekturnya hanya tersisa satu rumah., dan itu pun oleh Pemerintah Kota Tarakan di jadikan sebagai Museum sejarah. Sedangkan rumah bundar lainnya, oleh pemiliknya sudah berubah bentuk kearah bangunan modern dengan menghilangkan bentuk aslinya.
Sejarah Rumah Bundar Tarakan
Written By lesbumi on Senin, 26 Desember 2016 | 11.34
Siapa yang tak kenal dengan Kota Tarakan, turis domestik maupun mancanegera mengetahui, Kota Tarakan merupakan kota bersejarah perang Dunia ke II, bahkan pesona keindahan bangunan peninggalan bersejarah seperti Rumah Iglo atau yang sering disebut masyarakat sekitar dengan Rumah Bundar yang sudah berdiri sejak tahun 1938, bahkan sampai saat ini masih dapat dilihat bangunannya di Jalan Jendral Sudirman, atau tepat disamping gedung DPRD Tarakan..
Uniknya pondasi rumah ini ternyata terbuat dari batu karang yang diambil dari Pulau Melulun yang dahulunya salah satu pulau bagian daerah Tarakan, namun sayangnya akibat pengerukan yang terus dilakukan oleh pasukan Belanda sebagai bahan baku pembuatan bangunan menjadikan pulau tersebut tidak ada lagi.
Pada tahun 1945 Rumah Bundar digunakan sebagai rumah tinggal bagi tentara Australia untuk sementara waktu sebelum kembali ke negaranya, tentara Australia dalam sejarah kelam perang Dunia ke II merupakan sekutu pasukan Belanda dalam melakukan a agresi penjajahan di Indonesia.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia rumah ini digunakan kembali oleh pejabat-pejabat Indonesia, namun sayang kelestarian rumah ini yang masih bertahan dari segi arsitekturnya hanya tersisa satu rumah., dan itu pun oleh Pemerintah Kota Tarakan di jadikan sebagai Museum sejarah. Sedangkan rumah bundar lainnya, oleh pemiliknya sudah berubah bentuk kearah bangunan modern dengan menghilangkan bentuk aslinya.
Label:
sejarah
11.33
Sejarah Taksi Kayu Tarakan
Sebagai saksi sejarah Perang Dunia II, pulau Tarakan memiliki beragam peninggalan yang menunjukkan bahwa kota ini pernah menjadi titik wilayah perebutan negara - negara besar. Selain miliki kandungan minyak kualitas super yang melimpah, letak geografis yang strategis menjadi daya tarik tersendiri kala itu, di Tarakan kala itu mempunyai alat transportasi yang sangat unik, yaitu Taksi Kayu Jeep yang notabene 4WD (kendaraan dengan penggerak roda empat). Kendaraan legendaris ini akan dijadikan sarana pemikat bagi wisatawan untuk berkunjung ke kota yang kaya secara histori.
“Taksi kayu ini jaman dulu digunakan untuk perang, tetapi setelah Indonesia merdeka dijadikan sebagai angkutan umum.
Kendaraan umum dengan karoseri kayu tersebut saat ini berada di museum kota (red, Rumah Bundar). Meskipun masih bisa dioperasikan, namun taksi ini tidak bisa digunakan sembarangan. Dan kendaraan ini merupakan salah satu potensi wisata yang cukup menjanjikan. Oleh karena itu, pihak pemerintah kota akan berupaya menjadikan taksi kayu sebagai daya tarik bagi wisatawan.
Kalau jaman dulu naik taksi kayu dari seputaran Lingkas Ujung sampai ke Markoni Kelurahan Pamusian hanya Rp 1 rupiah, itu 40 tahun yang lalu. Kalau sekarang menyesuaikan,” terangnya.
Saat ini di Tarakan hanya tersisa dua taksi kayu, dan rencananya akan digandakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata domestik maupun mancanegara.Wisata kota ini akan mampu mendatangkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
Selain taksi kayu, Tarakan juga memiliki peninggalan sejarah Perang Dunia II, tercatat empat negara yang melakukan aktivitas dan terlibat pertempuran tersebut, yakni Australia, Jepang, Belanda dan tentara sekutu Amerika. Dengan dikemas sedemikian rupa, kendaraan peninggalan PD II ini diyakini akan menjadi objek wisata tak ternilai.
“Taksi kayu ini jaman dulu digunakan untuk perang, tetapi setelah Indonesia merdeka dijadikan sebagai angkutan umum.
Kendaraan umum dengan karoseri kayu tersebut saat ini berada di museum kota (red, Rumah Bundar). Meskipun masih bisa dioperasikan, namun taksi ini tidak bisa digunakan sembarangan. Dan kendaraan ini merupakan salah satu potensi wisata yang cukup menjanjikan. Oleh karena itu, pihak pemerintah kota akan berupaya menjadikan taksi kayu sebagai daya tarik bagi wisatawan.
Kalau jaman dulu naik taksi kayu dari seputaran Lingkas Ujung sampai ke Markoni Kelurahan Pamusian hanya Rp 1 rupiah, itu 40 tahun yang lalu. Kalau sekarang menyesuaikan,” terangnya.
Saat ini di Tarakan hanya tersisa dua taksi kayu, dan rencananya akan digandakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata domestik maupun mancanegara.Wisata kota ini akan mampu mendatangkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
Selain taksi kayu, Tarakan juga memiliki peninggalan sejarah Perang Dunia II, tercatat empat negara yang melakukan aktivitas dan terlibat pertempuran tersebut, yakni Australia, Jepang, Belanda dan tentara sekutu Amerika. Dengan dikemas sedemikian rupa, kendaraan peninggalan PD II ini diyakini akan menjadi objek wisata tak ternilai.
Label:
sejarah
10.23
Sejarah Islam Di Gorontalo
Sejarah Islam Gorontalo,17 Kerajaan Kecil bersatu menjadi Gorontalo
Gorontalo adalah provinsi baru yang letaknya di Sulawesi bagian utara. Daerah ini punya jejak zaman kepemimpinan di masa dulu, termasuk kepemimpinan dalam kerajaan Islam.
Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hingga pada 1385, sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.
Menyebut Hulondalo, berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari kata Hulonthalangi dari istilah Huta Langi-langi, yang dalam bahasa setempat artinya genangan air. Orang Belanda menyebutnya dengan Holontalo, yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi Gorontalo.
Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme. Kemudian, Islam mulai masuk ke Gorontalo.
Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan mengenai masa-masa ketika Islam masuk ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini. Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya kepada Republika, pekan lalu.
Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
Dari sini bisa terlihat, pihak kerajaan memahami Islam dan ingin menjalankan kerajaan sesuai tuntunan Islam. "Karena Islam, maka bentuk kerajaannya pun menjadi kesultanan," ujarnya.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh guru besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, Prof Dien Majid. Menurutnya, bentuk kerajaan tetap bisa dipertahankan meski rajanya telah Islam.
Dalam bentuk pemerintahan dulu, ia menjelaskan, dikenal bentuk kerajaan yang bersifat tradisional. Mulai abad ke-13, ketika Islam mulai masuk nusantara, maka dikenallah sistem pemerintah yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu kesultanan.
"Meski demikian, masih ada yang tetap menggunakan nama kerajaan, namun jabatan pemimpinnya disebut dengan sultan," ujarnya.
Salah satunya, ia mencontohkan adalah kerajaan di Aceh, namanya tetap kerajaan, namun pemimpinnya bergelar sultan. Hal yang sama terjadi juga di Gorontalo.
Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo.
"Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami adalah istri Amai sendiri yang bernama putri raja Palasa," tulisnya.
Awalnya, saat Raja Amai ingin meminangnya, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan.
Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan yang kedua adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran. "Dua syarat itu diterima oleh Amai. Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo," tulisnya.
Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah.
Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.
Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu sultan.
Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.
Pada 1550, Sultan Amai digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya.
Ia pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.
Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepimpinannnya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.
Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullah dipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.
Beberapa perubahan
Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.
Dalam ilmu akidah tersebut diajarkan dua puluh sifat Allah SWT, untuk itu Eyato mewajibkan sifat-sifat itu menjadi sifat dan sikap semua aparat kerajaan mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan jabatan terendah. Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.
Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat tersebut telah mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu," tulisnya.
Struktur pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerja sama yang disebut Buatula Totolu, yaitu Buatula Bantayoyang dikepalai oleh Bate yang bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan, Buatula Bubato yang dikepalai oleh Raja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha menyejahterakan masyarakat, dan Buatula Bala yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Sumber: republika.co.id
Gorontalo adalah provinsi baru yang letaknya di Sulawesi bagian utara. Daerah ini punya jejak zaman kepemimpinan di masa dulu, termasuk kepemimpinan dalam kerajaan Islam.
Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hingga pada 1385, sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.
Menyebut Hulondalo, berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari kata Hulonthalangi dari istilah Huta Langi-langi, yang dalam bahasa setempat artinya genangan air. Orang Belanda menyebutnya dengan Holontalo, yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi Gorontalo.
Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme. Kemudian, Islam mulai masuk ke Gorontalo.
Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan mengenai masa-masa ketika Islam masuk ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini. Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya kepada Republika, pekan lalu.
Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
Dari sini bisa terlihat, pihak kerajaan memahami Islam dan ingin menjalankan kerajaan sesuai tuntunan Islam. "Karena Islam, maka bentuk kerajaannya pun menjadi kesultanan," ujarnya.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh guru besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, Prof Dien Majid. Menurutnya, bentuk kerajaan tetap bisa dipertahankan meski rajanya telah Islam.
Dalam bentuk pemerintahan dulu, ia menjelaskan, dikenal bentuk kerajaan yang bersifat tradisional. Mulai abad ke-13, ketika Islam mulai masuk nusantara, maka dikenallah sistem pemerintah yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu kesultanan.
"Meski demikian, masih ada yang tetap menggunakan nama kerajaan, namun jabatan pemimpinnya disebut dengan sultan," ujarnya.
Salah satunya, ia mencontohkan adalah kerajaan di Aceh, namanya tetap kerajaan, namun pemimpinnya bergelar sultan. Hal yang sama terjadi juga di Gorontalo.
Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo.
"Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami adalah istri Amai sendiri yang bernama putri raja Palasa," tulisnya.
Awalnya, saat Raja Amai ingin meminangnya, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan.
Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan yang kedua adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran. "Dua syarat itu diterima oleh Amai. Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo," tulisnya.
Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah.
Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.
Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu sultan.
Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.
Pada 1550, Sultan Amai digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya.
Ia pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.
Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepimpinannnya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.
Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullah dipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.
Beberapa perubahan
Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.
Dalam ilmu akidah tersebut diajarkan dua puluh sifat Allah SWT, untuk itu Eyato mewajibkan sifat-sifat itu menjadi sifat dan sikap semua aparat kerajaan mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan jabatan terendah. Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.
Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat tersebut telah mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu," tulisnya.
Struktur pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerja sama yang disebut Buatula Totolu, yaitu Buatula Bantayoyang dikepalai oleh Bate yang bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan, Buatula Bubato yang dikepalai oleh Raja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha menyejahterakan masyarakat, dan Buatula Bala yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Sumber: republika.co.id
Label:
sejarah
19.50
SANAD-SILSILAH NAHDLATUL ULAMA SAMPAI NABI ADAM AS.
Written By lesbumi on Minggu, 18 Desember 2016 | 19.50
SANAD-SILSILAH NAHDLATUL ULAMA SAMPAI NABI ADAM AS.
1. Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj.
2. KH. Hasyim Muzadi.
3. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
4. KH.Wahid Hasyim.
5. Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
6. Syaikh Mahfudz at-Termasi.
7. Syaikh Nawawi al-Bantani.
8. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
9. Imam Ahmad ad-Dasuqi.
10. Imam Ibrahim al-Baijuri.
11. Imam Abdullah as-Sanusi.
12. Imam ‘Abduddin al-‘Iji.
13. Imam Muhammad bin Umar Fakhrurrazi.
14. Imam Abdul Karim asy-Syahrastani.
15. Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.
16. Imam Abdul Malik al-Haramain al-Juwaini.
17. Imam Abubakar al-Baqillani.
18. Imam Abdullah al-Bahili.
19. Imam Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari.
20. Abu Ali al-Juba’i.
21. Abu Hasyim al-Juba’i.
22. Abu al-Hudzail al-‘Allaf.
23. Ibrahim an-Nadzdzam.
24. Amr bin Ubaid.
25. Washil bin Atha’.
26. Sayyidina Muhammad bin Ali bin Abi Thalib.
27. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw.
28. Sayyidina Rasulullah Muhammad Saw.
29. Malaikat Jibril As.
30. Allah Swt.
2. KH. Hasyim Muzadi.
3. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
4. KH.Wahid Hasyim.
5. Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
6. Syaikh Mahfudz at-Termasi.
7. Syaikh Nawawi al-Bantani.
8. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
9. Imam Ahmad ad-Dasuqi.
10. Imam Ibrahim al-Baijuri.
11. Imam Abdullah as-Sanusi.
12. Imam ‘Abduddin al-‘Iji.
13. Imam Muhammad bin Umar Fakhrurrazi.
14. Imam Abdul Karim asy-Syahrastani.
15. Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.
16. Imam Abdul Malik al-Haramain al-Juwaini.
17. Imam Abubakar al-Baqillani.
18. Imam Abdullah al-Bahili.
19. Imam Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari.
20. Abu Ali al-Juba’i.
21. Abu Hasyim al-Juba’i.
22. Abu al-Hudzail al-‘Allaf.
23. Ibrahim an-Nadzdzam.
24. Amr bin Ubaid.
25. Washil bin Atha’.
26. Sayyidina Muhammad bin Ali bin Abi Thalib.
27. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw.
28. Sayyidina Rasulullah Muhammad Saw.
29. Malaikat Jibril As.
30. Allah Swt.
Nabi Muhammad Saw.
29. bin Syaikh Abdullah.
30. bin Abdul Muthalib (Syaibah).
31. bin Hasyim (Amr).
32. bin Abdu Manaf (al-Mughirah).
33. bin Qushay (Zaid).
34. bin Kilab.
35. bin Murrah.
36. bin Ka’ab.
37. bin Luaiy.
38. bin Ghalib.
39. bin Fihr (Quraisy).
40. bin Malik.
41. bin Nadhr (Qais).
42. bin Kinanah.
43. bin Khuzaimah.
44. bin Mudrikah (Amir).
45. bin Ilyas.
46. bin Mudhar.
47. bin Nizar.
48. bin Ma’ad.
49. bin ‘Adnan.
50. bin ‘Ad.
51. bin Udad.
52. bin Hamaisa’.
53. bin Salaman.
54. bin Banat.
55. bin Haml.
56. bin Qidrah.
57. bin Isma’il.
58. bin Ibrahim.
59. bin Târakh.
60. bin Nakhur.
61. bin Syarukh.
62. bin Arghu.
63. bin Falikh.
64. bin Abir.
65. bin Syalikh.
66. bin Arfakhsyad.
67. bin Sam.
68. bin Nuh.
69. bin Lamak.
70. bin Matusyalikh.
71. bin Akhnukh.
72. bin Idris.
73. bin Ilyarid.
74. bin Mihlayil.
75. bin Qinan.
76. bin Anusy.
77. bin Syits.
78. bin Adam As.
29. bin Syaikh Abdullah.
30. bin Abdul Muthalib (Syaibah).
31. bin Hasyim (Amr).
32. bin Abdu Manaf (al-Mughirah).
33. bin Qushay (Zaid).
34. bin Kilab.
35. bin Murrah.
36. bin Ka’ab.
37. bin Luaiy.
38. bin Ghalib.
39. bin Fihr (Quraisy).
40. bin Malik.
41. bin Nadhr (Qais).
42. bin Kinanah.
43. bin Khuzaimah.
44. bin Mudrikah (Amir).
45. bin Ilyas.
46. bin Mudhar.
47. bin Nizar.
48. bin Ma’ad.
49. bin ‘Adnan.
50. bin ‘Ad.
51. bin Udad.
52. bin Hamaisa’.
53. bin Salaman.
54. bin Banat.
55. bin Haml.
56. bin Qidrah.
57. bin Isma’il.
58. bin Ibrahim.
59. bin Târakh.
60. bin Nakhur.
61. bin Syarukh.
62. bin Arghu.
63. bin Falikh.
64. bin Abir.
65. bin Syalikh.
66. bin Arfakhsyad.
67. bin Sam.
68. bin Nuh.
69. bin Lamak.
70. bin Matusyalikh.
71. bin Akhnukh.
72. bin Idris.
73. bin Ilyarid.
74. bin Mihlayil.
75. bin Qinan.
76. bin Anusy.
77. bin Syits.
78. bin Adam As.
PBNU sudah menerbitkan dalam bentuk poster sanad-silsilah keilmuan ilmiah dari Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sampai Rasulullah Saw. yang telah ditash-hih oleh Rais ‘Am Nahdlatul Ulama KH. Sahal Mahfudz. Silakan pesan langsung di kantor PBNU pusat Jakarta seharga Rp. 20.000.
Dikutip dari ceramah Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. dalam acara Haul KH. Mahfudz Hasbullah ke-29 PP Al-Huda Jetis-Kebumen tanggal 06 Januari 2014.
Label:
sejarah