Home » » MELACAK JEJAK SEJARAH KELAHIRAN TNI

MELACAK JEJAK SEJARAH KELAHIRAN TNI

Written By lesbumi on Rabu, 04 Januari 2017 | 09.18

Oleh: KH Agus Sunyoto
Tinta emas sejarah menggoreskan catatan bahwa sejak awal didirikan, TNI sudah mengibarkan panji-panji ideal sebagai ‘Tentara Pejuang’ yang berasal dari rakyat untuk Bangsa dan Negara, karena TNI bukanlah institusi Negara yang dibentuk begitu saja untuk melengkapi pembentukan Negara Indonesia.
Sejarah mencatat, sampai memasuki bulan September 1945 Negara Indonesia yang dibentuk 18 Agustus 1945 belum dilengkapi institusi militer, sampai Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, yang mantan perwira KNIL menyindir,”Aneh Indonesia ini, ada Negara zonder tentara.” Setelah itu, dibentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat), yang merupakan embrio lahirnya TNI.
Jauh sebelum lahir secara formal sebagai Tentara Nasional Indonesia, keberadaan institusi militer sudah menjadi bagian integral dari Negara-negara tradisional semenjak jaman Kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, Sunda, Kalingga, Mataram, Janggala, Panjalu, Singasari, Majapahit, Demak, Cirebon, Banten, dan kesultanan-kesultanan di berbagai daerah di Nusantara. Belum pernah terjadi, sebuah Negara tradisional yang tidak memiliki institusi militer. Bahkan jauh melampaui institusi kemiliteran, jiwa perjuangan dan kejuangan beserta perlawanan terhadap semua bentuk penjajahan dan penindasan dari kekuatan asing terhadap Bangsa Indonesia sudah dinyalakan dalam kobaran api perlawanan sejak kolonialis-imperialis Eropa seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Perancis datang susul-menyusul ke Indonesia untuk menaklukkan, menjajah, merendahkan, mengeksploitasi, menebar kesengsaraan dan penderitaan bagi Bangsa Indonesia.
Tinta emas sejarah mencatat bahwa sejak awal kedatangan Bangsa Portugis yang dilanjutkan Belanda dan Inggris di Nusantara, umat Islam tidak pernah berhenti melakukan perlawanan bersenjata, di mana pemimpin-pemimpin perlawanan umumnya berasal dari kalangan pemuka tarekat yang mendukung penguasa-penguasa pribumi untuk melawan penjajah. Lantaran itu, di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia telah tersebar rasa takut terhadap tarekat, karena mereka yakin bahwa gerakan tarekat akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak melawan pemerintah Kolonial Belanda (Suminto, 1985). Meski perlawanan awal terhadap kolonialis-imperialis Eropa sudah dilakukan sejak armada Demak menggempur Portugis yang menaklukkan Malaka tahun 1512, yang disusul Perang Portugis – Fatahillah 1522 dan selanjutnya Perang Portugis-Aceh tahun 1536, Perang Portugis – Johor-Siak-Inderagiri-Jepara, Perang Portugis-Ternate di bawah Sultan Baabullah, Perang VOC Belanda – Mataram di era Sultan Agung 1626 dan 1629, Perang VOC Belanda - Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa dengan dukungan Syaikh Yusuf Tajul Khalwati Al-Makassari, Perang VOC – Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, Perang suksesi Mataram 1670 – 1755 yang melibatkan Trunojoyo, Karaeng Galesong, Panembahan Giri, Panembahan Rama Kajoran, disusul perlawanan Surapati, pemberontakan Bupati Kasepuhan Surabaya Jayapuspita dan Bupati Kanoman Surabaya Jangrana III, yang dilanjut pemberontakan Tumenggung Sasranegara Sawunggaling, Geger Pacinan, perlawanan Malang dan Lumajang, hingga VOC dibubarkan 31 desember 1799 untuk diganti Pemerintah Hindia Belanda, perlawanan pribumi muslim yang dipimpin guru tarekat dan ulama pesantren senantiasa menjadi keniscayaan. Koloniaal Archive mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda ditegakkan menggantikan VOC tahun 1800 hingga tahun 1900, terjadi 112 kali perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Namun semua perlawanan itu kurang membawa hasil yang memuaskan, terutama karena para pemimpin perlawanan – guru tarekat dan ulama pesantren -- hanya didukung oleh kalangan petani, tukang, perajin, pedagang kecil, dan santri-santri yang tidak memiliki dasar kemiliteran. Sejarah mencatat, betapa kekuatan besar massa rakyat yang tidak terlatih selalu kalah ketika berhadapan dengan tentara kolonial yang terlatih seperti KNIL dan marsose (Kartodirdjo, 1973; Notosusanto, 1971; Abdul Azis, 1955)
Tinta emas sejarah mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda tunduk kepada Jepang di Kalijati, Subang, pada 8 Maret 1942, kekuasaan pindah tangan kepada imperialism Jepang yang berkuasa di Indonesia. Sekali pun Jepang berkuasa dengan tangan besi, namun terjadi perubahan besar-besaran dalam peri kehidupan rakyat Indonesia terutama dalam kaitan dengan pengembangan doktrin kemiliteran. Fakta sejarah mencatat bahwa pemerintah militer Jepang di Indonesia telah menciptakan satuan-satuan militer dan para militer berskala nasional yang terdiri dari pribumi-pribumi Indonesia, termasuk di dalamnya komunitas muslim yang berasal dari pesantren. Pada 29 Maret 1942 – dua minggu setelah Jepang berkuasa – dibentuklah Barisan Pemuda yang terdiri atas Barisan Seinendan (usia 14 – 22 tahun) dengan jumlah 5.00.000 orang dan Barisan Keibodan (usia 23 – 33 tahun) dengan jumlah 100.00 orang. Kedua barisan ini diberi pelajaran baris-berbaris dan latihan perang-perangan (kyoren). Murid-murid sekolah pun diorganisasi ke dalam barisan pelajar sekolah menengah (Gakkotonari) yang terdiri dari Chugakko (untuk siswa SLTP) dan Daigakko (untuk siswa SLTA). Sedang untuk mahasiswa dibentuk Himpunan Mahasiswa yang disebut Gakkutai. Mereka semua diberi pelajaran kyoren (Benda, 1985; Asmadi, 1985; Brugmans, 1960).
Pendidikan Kemiliteran Jepang
Pada 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan Jepang Letnan Jendral Kumakichi Harada mengeluarkan Osamu Osirei No.44 tentang pembentukan Boei Gyu Gun Kanbu Renseitai atau tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri atas 69 batalyon di Jawa dan Bali. Sebagian di antara komandan batalyon PETA yang terpilih dengan pangkat Daidancho (Mayor) adalah para kiai dari komunitas pesantren, yang dewasa itu akrab dengan amaliah tarekat. Itu terlihat saat latihan pertama PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943 di dekat istana Bogor, yang diikuti peresmian nama-nama perwira berpangkat mayor, sebagaimana tercatat pada nama-nama perwira PETA yang berkedudukan komandan Batalion:
1.Daidancho KH Tubagus Achmad Chatib, Danyon I ,Labuan - Banten; 2.Daidancho K. E. Oyong Ternaya, Danyon II Kandangan – Malimping – Banten; 3.Daidancho KH Syam’un, Danyon III Cilegon-Serang –Banten; 4.Daidancho Oeding Soerjaatmadja, Danyon IV Pandeglang – Banten; 5. Daidancho Mr.Kasman Singadimedja, Danyon I Harmoni – Jakarta; 6.Daidancho Soerjodipoetro, Danyon II Purwakarta; 7.Daidancho KH R Abdoellah bin Noeh, Danyon I Jampang Kulon; 8.Daidancho KH M. Basuni, Danyon II Pelabuhan Ratu; 9.Daidancho Kafrawi, Danyon III Sukabumi; 10. Daidancho R.D.Goenawan Resmipoetro, Danyon IV Cibeber – Cianjur; 11.Daidancho KH Soetalaksana, Danyon I Tasikmalaya; 12.Daidancho KH Pardjaman, Danyon II Pangandaran; 13. Daidancho KH.R.Aroedji Kartawinata, Danyon IV Cimahi; 14.Daidancho R.Sofyan Iskandar, Danyon V Garut; 15.Daidancho Abdoelgani Soerjokoesoemo, Danyon I Cirebon; 16.Daidancho R.Zaenal Asikin Joedibrata, Danyon II Majalengka-Indramayu; 17.Daidancho KH Iskandar Idris, Danyon I Pekalongan; 18.Daidancho KH Doerjatman, Danyon II Tegal; 19.Daidancho R.Soetirto, Danyon I Cilacap; 20.Daidancho R.Soesalit, Danyon II Sumpyuh; 21.Daidancho Soedirman, Danyon III Kroya; 22.Daidancho Isdiman, Danyon IV Banyumas; 23.Daidancho R.Abdoel Kadir/R.Bambang Soegeng, Danyon I Gombong; 24.Daidancho Mochamad Soesman, Danyon II Magelang; 25.Daidancho Djojo Koesoemo, Danyon III Gombong; 26.Daidancho Moekahar Ronohadikoesoemo, Danyon IV Purworejo; 27.Daidancho R.Oesman, Danyon I Mrican – semarang; 28.Daidancho R.Soedijono Taroeno Koesoemo, Danyon II Weleri-Kendal; 29.Daidancho Koesmoro Hadidewo, Danyon I Pati; 30.Daidancho Holan Iskandar, Danyon II Rembang; 31.Daidancho Prawiro Atmodjo, Danyin III Jepara; 32.Daidancho D.Martodjoemeno, Danyon I Wates-Yogyakarta; 33.Daidancho Mochamad Saleh, Danyon II Bantul; 34.Daidancho Soendjojo Poerbokoesoemo, Danyon III Pingit-Yogyakarta; 35.Daidancho Moeridan Noto, Danyon IV Wonosari-Yogyakarta; 36.Daidancho KH R.M.Moeljadi Djojomartono, Danyon I Manahan – Surakarta; 37.Daidancho KH Idris, Danyon II Wonogiri – Surakarta; 38.Daidancho Agoes Tojib, Danyon I Madiun; 39.Daidancho Akub Goelangge, Danyon II Pacitan; 40.Daidancho M.Soedjono, Danyon III Ponorogo; 41.Daidancho Soediro, Danyon I Tulungagung; 42.Daidancho Soerachmad, Danyon II Blitar; 43.Daidancho Anggris Joedodiprodjo/ Soejoto Djojopoernomo, Danyon III Sukorame-Kediri; 44.Daidancho Maskoer/Soedirman, Danyon I Babad-Bojonegoro; 45.Daidancho Masri, Danyon II Bancar – Tuban; 46.Daidancho Soemadi Sastroatmodjo, Danyon III Tuban Kota; 47.Daidancho Dr Soetopo, Danyon I Gunungsari – Surabaya; 48.Daidancho R Moechamad Mangoen Diprodjo; 49.Daidancho Katamhadi, Danyon III Mojokerto; 50.Daidancho KH Cholik Hasjim, Danyon IV Jombang; 51.Daidancho Drg.Moestopo, Danyon IV Gresik; 52.Daidancho KH Iskandar Soelaiman, Danyon I Gondanglegi-Malang; 53.Daidancho M.Soerjo Adikoesoemo, Danyon Danyon II Lumajang; 54.Daidancho Arsyid Kromodihardjo, Danyon III Pasuruan; 55.Daidancho Imam Soedja’i, Danyon IV Malang Kota; 56.Daidancho Soedarsono, Danyon V Probolinggo; 57.Daidancho Soewito, Danyon I Kencong-Jember; 58.Daidancho KH Tahirroeddin Tjakra Atmadja, Danyon II Bondowoso; 59.Daidancho Soekotjo, Danyon III Benculuk-Banyuwangi; 60.Daidancho Soerodjo/Astiklah, Danyon IV Jember; 61.Daidancho R Oesman Soemodinoto, Danyon V Sukowidi – Banyuwangi Kota; 62.Daidancho KH R Amin Dja’far, Danyon I Pamekasan; 63.Daidancho Roeslan Tjakraningrat, Danyon II Bangkalan; 64.Daidancho Abdoel Madjid, Danyon III Batang-batang; 65.Daidancho KH Hamid Moedhari, Danyon IV Ambunten – Sumenep; 66.Daidancho Trunodjojo, Danyon V Ketapang; 67.Daidancho I Made Putu, Danyon I Negara; 68.Daidancho I Gusti Ngurah Gedepoegeng, Danyon II Tabanan; 69.Daidancho Anak Agung Made Agung, Danyon III Klungkung.
Akibat cukup banyak kyai didikan pesantren yang menjabat komandan batalyon PETA, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?” (Sunyoto, 2016; Asmadi, 1985)
Pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Tentara Sukarela Hisbullah di Jakarta. Hisbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), KH Mawardi (Solo), KH Zarkasi (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Syahid (Kediri), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Thohir Dasuki (Surakarta), KH Roji’un (Jakarta), KH Munasir Ali (Mojokerto), KH Abdullah, KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dsb.
Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hisbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hisbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hisbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hisbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki (Hayat,dkk, 1995). Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan militer di PETA dan Hisbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Karena itu, saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, tetapi belum memiliki tentara sampai disindir Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, diikuti pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat), berbondong-bondonglah para pemuda untuk mendaftarkan diri bersama dengan mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang), KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger – pribumi yang jadi Angkatan Darat Hindia Belanda) dan masyarakat.
Sejak awal dibentuknya BKR yang kemudian menjadi TKR dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hisbullah serta Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon sejak BKR diubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945, mayoritas berasal dari kesatuan PETA, Hisbullah, Sabilillah, Seinendan, Keibodan, Heiho, masyarakat pejuang, dan bekas KNIL. Mereka itu, mayoritas adalah komandan battalion yang berlatar pendidikan pesantren seperti:
KH Kholiq Hasyim, KH Amien Djakfar, KH Abdoel Chamid, KH Iskandar Idris, KH Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, KH K. Ternaya, KH. Idris, KH. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam’oen, KH Iskandar Sulaiman, KH Zarkasi, KH Mursyid, KH Syahid, KH Abdullah, KH Zainudin, Sulthan Fajar, KH Abdul Manan Widjaja, KH Sulam Syamsun, KH Zein Thoyib, KH Abdullah Abbas, KH Yusuf Hasyim, KH Masykoer, KH Bisri Sjansoeri, KH Zainal Arifin, KH Moenasir Ali, KH Wahib Wahab, KH Jasin, KH Mansjoer Sholichy, KH Achjat Chalimi, KH Hasjim Latif, KH Anwar Zen, KH Hasan Sjaifurrizal, KH Zaini Moen’im, KH Djoenaidi, KH Asnawi Hadisiswoyo, KH R. Salimoelhadi, KH Bolkin, K. Mahfudz, K. P. Hadisoenarto, KH Abdoel Moeslim, KH Moeslim, KH Dimjati Moeid, K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K H. Soedjak, K. Asfani, K. Abdoel Syoekoer, K.Djarkasi, dll (Anderson, 1972; Hayat, 1995; El-Khayyis, 2015).
Pada saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) kemudian TKR berubah menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) hingga menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), sejumlah tokoh kyai dari pesantren menduduki posisi strategi dengan pangkat tinggi. Selama masa revolusi kemerdekaan (1945-1948) tercatat sejumlah perwira TNI berlatar pendidikan pesantren yang berasal dari pesantren seperti Mayor KH Iskandar Sulaiman (Wakil Komandan Brigade Narotama, Malang), Mayor KH Munasir Ali (Komandan Batalyon Condromowo, Mojokerto-Jombang), Sulthan Fajar (Komandan Resimen Mujahidin dari Brigade 13 Divisi VII Karesidenan Besuki), Mayor KH Mahfudz (Komandan Batalyon 508 Kodam Brawijaya), KH Zainul Arifin (Komandan Tertinggi Divisi Barisan Hisbullah), Letkol K.H. M. Munawar (Komandan Resimen Hisbullah pada Divisi Sunan Bonang Surakarta, kelak jadi Resimen 6 Brigade 24), Letkol KH Iskandar Idris (Komandan Brigade Nusantara di Pekalongan), Mayor Ahmad Bakri (Komandan Batalyon 18), Mayor A. Gafar Ismail (Komandan Batalyon 19), Brigjen KH Sulam Syamsun, Mayor Hamid Rusdi, Beigjen Abdul Manan Widjaja, Mayor KH A.Cholik Hasjim, Brigjen KH M. Rowi, Brigjen. Zein Thayib, Kapten KH Yusuf Hasyim, dsb.
Marjinalisasi TNI Didikan Pesantren
Fenomena penduduk pribumi bersekolah terjadi sewaktu pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan Politik Etis pada 1901, di mana anak-anak Pribumi Muslim dididik di lembaga sekolah yang ditegakkan di atas dasar filsafat positivisme. Sekolah untuk pribumi seperti Holland Inlands School (HIS), Meer Uitgebreid Lager School (MULO), Hoogere Burger School (HBS), Algemeene Middlebare School (AMS), School Tot Opleiding vor Inlandsche Artsen (STOVIA) menjadi alternatif pilihan bagi anak-anak pribumi untuk menuntut ilmu. Keberadaan lembaga sekolah pemerintah itu menjadikan sistem persekolahan menjadi pilihan utama bagi masyarakat agar bisa menjadi manusia ‘modern’ dan memperoleh lapangan pekerjaan dari pemerintah kolonial.
Karena latar filosofis sekolah adalah positivisme, maka orang-orang yang terproses dalam pendidikan sekolah memandang rendah keberadaan pesantren yang berlatar agama. Itu sebabnya, ketika para lulusan sekolah menduduki jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan RI, terjadi usaha-usaha memarjinalisasi orang-orang berlatar pesantren dari struktur pemerintahan. Hal itu terbukti saat Perdana Menteri RI tahun 1948, merancang usaha sistematis untuk memarjinalisasi keberadaan para elit di pemerintahan dan militer yang berasal dari pesantren. Kebijakan itu dikenal sebagai Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Rera), yang awal sekali diterapkan di lingkungan TNI dengan alasan menjadikan militer profesional. Ukuran yang dijadikan parameter dalam Restrukturisasi dan Rasionalisasi itu, adalah ijazah sekolah. Maksudnya, professional dan tidaknya seseorang dalam kemiliteran harus dibuktikan secara formal dengan kepemilikan ijazah sekolah.
Kebijakan sepihak pemerintahan inilah yang menjadi salah satu pemicu lahirnya kekecewaan sebagian perwira TNI muslim berlatar pendidikan sekolah, di mana kekecewaan itu justru diletuskan dalam bentuk gerakan makar DI/TII yang dirancang dan dijalankan orang-orang berlatar pendidikan sekolah formal seperti Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar, Daud Beureuh yang diikuti sebagian kecil militer berlatar pesantren. Peristiwa-peristiwa tragis yang menimpa tokoh-tokoh militer berlatar pesantren sebagaimana ditulis Pinardi (1964) dan Cornelijs Van Dijk (1983), sejatinya bermula dari kebijakan pemerintah dalam Rera yang disikapi secara reaktif oleh tokoh-tokoh militer berlatar sekolah formal. Dan sejarah negara-bangsa Indonesia – terutama sejarah pembentukan TNI yang ditulis oleh orang-orang berlatar pendidikan sekolah – menafikan seluruh peranan umat Islam yang berasal dari pesantren, seolah-olah pesantren tidak sedikit pun memiliki peranan dalam melahirkan TNI.
Sekalipun aspirasi kalangan muslim tradisional terpinggirkan dari lingkaran kekuasaan politis pasca kebijakan Rera, namun dukungan para perwira TNI didikan pesantren terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak pernah surut. Sejarah mencatat, kesetiaan kalangan perwira-perwira muslim didikan pesantren terhadap Negara Indonesia setidaknya terlihat dari keterlibatan mereka dalam usaha penumpasan gerakan makar yang dilakukan golongan kiri di Madiun, gerakan makar DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta 1957 - 1960, makar PKI 1965. Sepanjang sejarah tegaknya NKRI, belum pernah tercatat ada gerakan umat Islam tradisional didikan pesantren yang melakukan kegiatan makar terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan saat ditetapkan Pancasila sebagai azas tunggal dalam bernegara dan bermasyarakat, kalangan muslim tradisional maju ke garda terdepan dan menyatakan bahwa NKRI dengan landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusionil UUD 1945 adalah bentuk final negara yang diidealkan umat Islam Indonesia, di mana hal tersebut dibuktikan dengan gerakan-gerakan riil kalangan muslim tradisional untuk menolak usaha-usaha kalangan muslim modernis dan muslim fundamental yang menghendaki diberlakukannya Syariat Islam di Indonesia, yang bahkan belakangan akan diwujudkan dalam bentuk kekuasaan Khilafah Islamiyyah.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : NU | GP. ANSOR | PP Muslimat NU
Copyright © 2011. LESBUMI NU TARAKAN - All Rights Reserved
Dukungan MUI dan Kota Tarakan
Proudly powered by Blogger
}); //]]>