AJI GATRI WACA GATRA II
Secara Etimologi kata Pesantren bukanlah kata Baru di tengah masyarakat Nusantara saat itu, Pesantren berasal dari kata Pe-Santri-an dengan perubahan vokal gabungan "I+A" menjadi "E" pada penggalan kata "Tri-an" menjadi "Tren". Pesantren merupakan kata berimbuhan "Pe-an" yang bermakna tempat dengan kata dasar "Santri", jadi kata Pesantren berarti Tempat Santri.
Kata Santri sendiri merupakan adopsi asimilasi dari kata Sastri yang berarti "orang yang mempelajari Sastra (Kitab Suci). diambil dari bahasa pribumi Nusantara saat itu, yaitu bahasa Sanskreta yang biasa ditulis menggunakan aksara Pallawa atau Kawi.
Skema Etimologis :
Kata dasar = SANTRI
Imbuhan = PE-AN
Jadi :
>> PE-SANTRI-AN
Perubahan Vokal I+A menjadi E
>> PESANTREN
Imbuhan PE-AN bermakna tempat
SANTRI artinya orang yang mempelajari kitab suci
>> PESANTREN berarti tempat orang yang mempelajari Kitab Suci
Secara Historis Pesantren merupakan perkembangan dari model pendidikan Pedukuhan yang diadopsi oleh Walisongo generasi Awal dari Hindu Syiwais. Sehingga metode dan Materi pendidikan yang dijalankan di pesantren adalah kelanjutan dari apa yang telah diajarkan di Pedukuhan. Namun seiring perkembangan dakwahnya, Pesantren juga turut menyesuaikan dengan model pengajaran dan pendidikan lain seperti yang ada di Padepokan Kapitayan, Perguruan Kesaktian Tantrayan, dan Asrama Kaum Budish.
Dakwah Wali songo di Nusantara tidak mengusik apapun yang sudah menjadi Adat, Tradisi dan Budaya pribumi, tidak pula memaksakan sesuatu yang asing kedalamnya. Dakwah Walisongo di Pesantren melanjutkan dan menyempurnakan apa yang sudah diajarkan oleh para Guru, Pandhita, wikhu atau pinakahulun pada masa sebelumnya seperti pendidikan Budi Pekerti dan Tatakrama (Akhlaqul Karimah) Pangajian / Agama (ulumuddiin), Kawruh (Ilmu Hikmah/Tashawuf), Pawukon atau Neptu (Ilmu Falak & Nujum) sehingga terciptalah nama-nama bulan yang diadopsi dari Kalender Hijriyah seperti Suro (Muharram), Silih Mulud (Robiul AKhir), Ruwah (Sya'ban), Puasa (Romadlon), Rayagung (Dzulhijjah) dll.
Pendidikan Pesantren pada saat itu tidak mengenal dikotomi Ilmu Agama dan Non Agama, berbagai ilmu pengetahuan diajarkan di dalam Pesantren seperti Ilmu pertanian, peternakan, kelautan dan maritim, Pengecoran logam, pembuatan perkakas, pembuatan Pusaka dan Senjata, Pembuatan Meriam seperti di Pesantren Demak dan Pati yang tercatat dalam babad Demak dan Catatan Portugis. pengetahuan lainya yang berkaitan dengan Kehidupan bermasyarakat dan pertahanan Kerajaan seperti ilmu Siyasat perang. Bagi santri yang merupakan keturunan kasta atas mempelajari ilmu politik dan Tatanegara sebagai contoh karyanya adalah kitab Undang2 Angger Suryangalam karya Raden Patah.
Pesantren pada masa itu adalah Sumber kejayaan peradaban dan Ilmu pengetahuan, Dari dalam pesantren banyak melahirkan karya-karya seni yang gemilang seperti alat musik Bonang yang diciptakan Sunan Bonang, Cerita Pewayangan yang digubrah oleh Sunan Kali Jaga dengan tokoh tokoh baru yang diadopsi dari kisah para Nabi dan lebih akrab dengan kondisi nyata masyarakat. Bukannya Nadzom dan Syiir yang diajarkan di pesantren pada saat itu, melainkan sastra Macapat, Pupuh, dan Suluk yang merupakan pengejawantahan dari Sastra Lama Kakawin yang hanya dipahami oleh cendikiawan Keraton. Langgam langgam tembang dolanan yang akrab dengan Masyarakat juga dilestarikan oleh Para santri dan Walisongo seperti Cublak Cublak Suweng karya Sunan Giri.
Dalam hal ritual yang berkaitan langsung dengan Tuhan, Pesantren mengasimilasi dan menyempurnakan Ritual ajaran Kapitayan. Dengan kelemah lembutan dan kebijaksanaannya, Para pendakwah walisongo Mengajak Masyarakat untuk "mendirikan Sholat menghadap Allah di Masjid" tidak merubah istilah ritual dalam tradisi lama mereka, yaitu dengan ajakan "Mendirikan Sembahyang menghadap Sang Hyang Widhi di Langgar" dan menyempurnakan bacaan-bacaan doa Sholat sebagai asimilasi dari Mantra menghadap sanghyang taya.
Dakwah yang damai tanpa merusak dan menghakimi mengalir begitu saja bersama ridho Ilahi diatas bumi pertiwi yang damai tentram diantara hijaunya alam..., namun inilah kehidupan, tak selamanya berlalu dengan sempurna, begitu pula dengan Pendidikan Pesatren yang tak luput dari coba dan kemunduran.
Secara Etimologi kata Pesantren bukanlah kata Baru di tengah masyarakat Nusantara saat itu, Pesantren berasal dari kata Pe-Santri-an dengan perubahan vokal gabungan "I+A" menjadi "E" pada penggalan kata "Tri-an" menjadi "Tren". Pesantren merupakan kata berimbuhan "Pe-an" yang bermakna tempat dengan kata dasar "Santri", jadi kata Pesantren berarti Tempat Santri.
Kata Santri sendiri merupakan adopsi asimilasi dari kata Sastri yang berarti "orang yang mempelajari Sastra (Kitab Suci). diambil dari bahasa pribumi Nusantara saat itu, yaitu bahasa Sanskreta yang biasa ditulis menggunakan aksara Pallawa atau Kawi.
Skema Etimologis :
Kata dasar = SANTRI
Imbuhan = PE-AN
Jadi :
>> PE-SANTRI-AN
Perubahan Vokal I+A menjadi E
>> PESANTREN
Imbuhan PE-AN bermakna tempat
SANTRI artinya orang yang mempelajari kitab suci
>> PESANTREN berarti tempat orang yang mempelajari Kitab Suci
Secara Historis Pesantren merupakan perkembangan dari model pendidikan Pedukuhan yang diadopsi oleh Walisongo generasi Awal dari Hindu Syiwais. Sehingga metode dan Materi pendidikan yang dijalankan di pesantren adalah kelanjutan dari apa yang telah diajarkan di Pedukuhan. Namun seiring perkembangan dakwahnya, Pesantren juga turut menyesuaikan dengan model pengajaran dan pendidikan lain seperti yang ada di Padepokan Kapitayan, Perguruan Kesaktian Tantrayan, dan Asrama Kaum Budish.
Dakwah Wali songo di Nusantara tidak mengusik apapun yang sudah menjadi Adat, Tradisi dan Budaya pribumi, tidak pula memaksakan sesuatu yang asing kedalamnya. Dakwah Walisongo di Pesantren melanjutkan dan menyempurnakan apa yang sudah diajarkan oleh para Guru, Pandhita, wikhu atau pinakahulun pada masa sebelumnya seperti pendidikan Budi Pekerti dan Tatakrama (Akhlaqul Karimah) Pangajian / Agama (ulumuddiin), Kawruh (Ilmu Hikmah/Tashawuf), Pawukon atau Neptu (Ilmu Falak & Nujum) sehingga terciptalah nama-nama bulan yang diadopsi dari Kalender Hijriyah seperti Suro (Muharram), Silih Mulud (Robiul AKhir), Ruwah (Sya'ban), Puasa (Romadlon), Rayagung (Dzulhijjah) dll.
Pendidikan Pesantren pada saat itu tidak mengenal dikotomi Ilmu Agama dan Non Agama, berbagai ilmu pengetahuan diajarkan di dalam Pesantren seperti Ilmu pertanian, peternakan, kelautan dan maritim, Pengecoran logam, pembuatan perkakas, pembuatan Pusaka dan Senjata, Pembuatan Meriam seperti di Pesantren Demak dan Pati yang tercatat dalam babad Demak dan Catatan Portugis. pengetahuan lainya yang berkaitan dengan Kehidupan bermasyarakat dan pertahanan Kerajaan seperti ilmu Siyasat perang. Bagi santri yang merupakan keturunan kasta atas mempelajari ilmu politik dan Tatanegara sebagai contoh karyanya adalah kitab Undang2 Angger Suryangalam karya Raden Patah.
Pesantren pada masa itu adalah Sumber kejayaan peradaban dan Ilmu pengetahuan, Dari dalam pesantren banyak melahirkan karya-karya seni yang gemilang seperti alat musik Bonang yang diciptakan Sunan Bonang, Cerita Pewayangan yang digubrah oleh Sunan Kali Jaga dengan tokoh tokoh baru yang diadopsi dari kisah para Nabi dan lebih akrab dengan kondisi nyata masyarakat. Bukannya Nadzom dan Syiir yang diajarkan di pesantren pada saat itu, melainkan sastra Macapat, Pupuh, dan Suluk yang merupakan pengejawantahan dari Sastra Lama Kakawin yang hanya dipahami oleh cendikiawan Keraton. Langgam langgam tembang dolanan yang akrab dengan Masyarakat juga dilestarikan oleh Para santri dan Walisongo seperti Cublak Cublak Suweng karya Sunan Giri.
Dalam hal ritual yang berkaitan langsung dengan Tuhan, Pesantren mengasimilasi dan menyempurnakan Ritual ajaran Kapitayan. Dengan kelemah lembutan dan kebijaksanaannya, Para pendakwah walisongo Mengajak Masyarakat untuk "mendirikan Sholat menghadap Allah di Masjid" tidak merubah istilah ritual dalam tradisi lama mereka, yaitu dengan ajakan "Mendirikan Sembahyang menghadap Sang Hyang Widhi di Langgar" dan menyempurnakan bacaan-bacaan doa Sholat sebagai asimilasi dari Mantra menghadap sanghyang taya.
Dakwah yang damai tanpa merusak dan menghakimi mengalir begitu saja bersama ridho Ilahi diatas bumi pertiwi yang damai tentram diantara hijaunya alam..., namun inilah kehidupan, tak selamanya berlalu dengan sempurna, begitu pula dengan Pendidikan Pesatren yang tak luput dari coba dan kemunduran.
Posting Komentar