AJI GATRI WACA GATRA I
Asimiliasi pendidikan dari masa pra Islam hingga terbentuknya "Pesantren" merupakan proses panjang dakwah Bilhikmah ala Walisongo yang tidak menghilangkan keutuhan Adi, Budi, daya, dan Tata Krama yang diajarkan oleh para guru dan wikhu sebelumnya. Terdapat beberapa macam tempat pendidikan dan pengajaran pada masa itu diantaranya :
- Peguron : Tempat Pendidikan Kesaktian Panganut Tantrayana.
- Padepokan : Tempat pengajaran dan Pendidikan penganut Kapitayan.
- Asrama : Tempat Pendidikan dan Pengajaran Kaum Budish
- Dukuh : Tempat Pendidikan para Pandhita Hindu Syiwais
Model Pedukuhan merupakan sistem pendidikan dan pengajaran yang paling efektif kala itu, pedukuhan mengajarkan konsep "Triguru" dalam tatakrama penghormatan.
pertama, Guru Rumpaka yaitu orang tua.
kedua, Guru Pangajian yaitu guru agama.
ketiga, Guru Wisesa yaitu raja yang berkuasa.
Semua guru tersebut harus dihormati dan dipatuhi perintahnya. Bila tidak hormat dan tidak patuh pada Triguru maka akan hina dan menghadapi kehidupan yang celaka.
Selain menerima pengajaran tentang pengetahuan yang bersifat Nalar/Budi, Para Siswa di Pedukuhan juga dididik untuk menjalani "Yamabrata", yaitu Prilaku-Prilaku yang mesti dijauhkan dari dalam diri :
- Ahimsa, mencelakai
- Kroda, Pemarah
- Moha, Gelap Pikir
- Mana, Angkara Murka
- Mada, Sombong
- Iri, Dengki
Didalam pedukuhan juga terdapat hukum dan pasal-pasal yang mengatur setiap prilaku para Siswa berupa perintah atau larangan yang disebut Niyabrata seperti menjalankan Awaharalaghawa yaitu memakan makanan yang suci dengan takaran yang sederhan dan sesuai aturan dalam Agama Hindu Syiwa.
Mula-mula para pendakwah Walisongo mengadopsi model Pedukuhan karena dianggap memiliki Kesamaan konsep pengajaran dan pendidikan dengan ajaran Islam. Seperti Raden Rahmat yang diangkat menjadi Ratu Pandhita di Wilayah Surabaya, mendirikan Pedukuhan di daerah Ngampeldenta dan dikenal dengan nama Sunan Ampel. Para siswa yang selesai mengaji di Sunan Ampel lalu mendirikan Pedukuhan-pedukuhan di tempat lain. sehingga di wilyah sekitar Ngampel masih banyak daerah dengan nama Pedukuhan/Dukuh. Begitulah terus berlangsung pedukuhan demi pedukuhan berdiri di banyak tempat sampai ke luar jawa, seperti Sunan Giri yang mendirikan Pedukuhan di Wilayah Banjar, Kalimantan Selatan.
Pada perkembangan berikutnya, setelah generasi Walisongo ke II, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dll, mulai menggunakan Istilah Pesantrian (Pesantren), Murid yang belajar di Pesantren namanya Santri, diadopsi dari nama Sanskreta "Sastri", yaitu julukan atau gelar untuk seseorang yang sedang mempelajari "Sastra" / Kitab suci.
Jika di Pedukuhan mempelajari Kitab Sastra KramaningWikhu
Maka di Pesantren mempelajari kitab Ta'limul Muta'allim
Jika di Pedukuhan mengajarkan Budhi dan Kawruh
Maka di pesantren mengajarkan Ilmu dan Makrifat
Sampai pada masa tersebut, bahasa dan karya karya yang dibuat oleh Walisongo, Pandhita dan Santrinya masih menggunakan bahasa dan aksara lokal, Seperti Suluk Wrucilnya Sunan Bonang, Suluk Linglungnya Sunan Kalijaga, Kidung Porwajati, Belum lagi naskah Naskah dalam Aksra Lontara di tanah Bugis, dan manuskrip dalam aksara Mbojo di Bima NTB, Artefak2 dalam aksara Kaganga lampung dan Batak yang menerangkan hikayat para pendakwah2 Islam di tanah Andalas (Sumatra) dan juga coretan petuah petuah bijak beraksara Sunda dari carita para baginda dan kanjeng Nabi dalam potongan bambu di wilayah Parahyangan, sebuah Negeri yang selalu tersenyum untuk Gemah Ripah Loh Jinawinya Nusantara.
tidak hanya bahasa dan aksara, Adat Berbusana, Seni karya, tradisi dan Kearifan lokal tetap dipertahankan sebagai identitas dan kesetiaan menjaga warisan orang tua.
BERSAMBUNG > > >
Asimiliasi pendidikan dari masa pra Islam hingga terbentuknya "Pesantren" merupakan proses panjang dakwah Bilhikmah ala Walisongo yang tidak menghilangkan keutuhan Adi, Budi, daya, dan Tata Krama yang diajarkan oleh para guru dan wikhu sebelumnya. Terdapat beberapa macam tempat pendidikan dan pengajaran pada masa itu diantaranya :
- Peguron : Tempat Pendidikan Kesaktian Panganut Tantrayana.
- Padepokan : Tempat pengajaran dan Pendidikan penganut Kapitayan.
- Asrama : Tempat Pendidikan dan Pengajaran Kaum Budish
- Dukuh : Tempat Pendidikan para Pandhita Hindu Syiwais
Model Pedukuhan merupakan sistem pendidikan dan pengajaran yang paling efektif kala itu, pedukuhan mengajarkan konsep "Triguru" dalam tatakrama penghormatan.
pertama, Guru Rumpaka yaitu orang tua.
kedua, Guru Pangajian yaitu guru agama.
ketiga, Guru Wisesa yaitu raja yang berkuasa.
Semua guru tersebut harus dihormati dan dipatuhi perintahnya. Bila tidak hormat dan tidak patuh pada Triguru maka akan hina dan menghadapi kehidupan yang celaka.
Selain menerima pengajaran tentang pengetahuan yang bersifat Nalar/Budi, Para Siswa di Pedukuhan juga dididik untuk menjalani "Yamabrata", yaitu Prilaku-Prilaku yang mesti dijauhkan dari dalam diri :
- Ahimsa, mencelakai
- Kroda, Pemarah
- Moha, Gelap Pikir
- Mana, Angkara Murka
- Mada, Sombong
- Iri, Dengki
Didalam pedukuhan juga terdapat hukum dan pasal-pasal yang mengatur setiap prilaku para Siswa berupa perintah atau larangan yang disebut Niyabrata seperti menjalankan Awaharalaghawa yaitu memakan makanan yang suci dengan takaran yang sederhan dan sesuai aturan dalam Agama Hindu Syiwa.
Mula-mula para pendakwah Walisongo mengadopsi model Pedukuhan karena dianggap memiliki Kesamaan konsep pengajaran dan pendidikan dengan ajaran Islam. Seperti Raden Rahmat yang diangkat menjadi Ratu Pandhita di Wilayah Surabaya, mendirikan Pedukuhan di daerah Ngampeldenta dan dikenal dengan nama Sunan Ampel. Para siswa yang selesai mengaji di Sunan Ampel lalu mendirikan Pedukuhan-pedukuhan di tempat lain. sehingga di wilyah sekitar Ngampel masih banyak daerah dengan nama Pedukuhan/Dukuh. Begitulah terus berlangsung pedukuhan demi pedukuhan berdiri di banyak tempat sampai ke luar jawa, seperti Sunan Giri yang mendirikan Pedukuhan di Wilayah Banjar, Kalimantan Selatan.
Pada perkembangan berikutnya, setelah generasi Walisongo ke II, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dll, mulai menggunakan Istilah Pesantrian (Pesantren), Murid yang belajar di Pesantren namanya Santri, diadopsi dari nama Sanskreta "Sastri", yaitu julukan atau gelar untuk seseorang yang sedang mempelajari "Sastra" / Kitab suci.
Jika di Pedukuhan mempelajari Kitab Sastra KramaningWikhu
Maka di Pesantren mempelajari kitab Ta'limul Muta'allim
Jika di Pedukuhan mengajarkan Budhi dan Kawruh
Maka di pesantren mengajarkan Ilmu dan Makrifat
Sampai pada masa tersebut, bahasa dan karya karya yang dibuat oleh Walisongo, Pandhita dan Santrinya masih menggunakan bahasa dan aksara lokal, Seperti Suluk Wrucilnya Sunan Bonang, Suluk Linglungnya Sunan Kalijaga, Kidung Porwajati, Belum lagi naskah Naskah dalam Aksra Lontara di tanah Bugis, dan manuskrip dalam aksara Mbojo di Bima NTB, Artefak2 dalam aksara Kaganga lampung dan Batak yang menerangkan hikayat para pendakwah2 Islam di tanah Andalas (Sumatra) dan juga coretan petuah petuah bijak beraksara Sunda dari carita para baginda dan kanjeng Nabi dalam potongan bambu di wilayah Parahyangan, sebuah Negeri yang selalu tersenyum untuk Gemah Ripah Loh Jinawinya Nusantara.
tidak hanya bahasa dan aksara, Adat Berbusana, Seni karya, tradisi dan Kearifan lokal tetap dipertahankan sebagai identitas dan kesetiaan menjaga warisan orang tua.
BERSAMBUNG > > >
Posting Komentar