Jakarta, NU Online: Sabtu, 27 Oktober 2018 20:27
Maestro Kaligrafi Indonesia KH Didin Sirojuddin AR menyampaikan pandangannya perihal bendera yang selama ini diklaim sebagai bendera Islam karena bertulis lafal tauhid dari segi khat. Pengurus Lembaga Kaligrafi (Lemka) ini menggugat klaim bendera Islam selama ini oleh sekelompok masyarakat.
Didin yang kini mengasuh pesantren kaligrafi di Sukabumi ini menjelaskan perkembangan sejarah khat, seni tulis aksara Arab, dari Rasulullah SAW hingga khat yang dikenal masyarakat Islam sekarang ini.
Menurutnya, Rasulullah SAW tidak pernah mengibarkan bendera bertuliskan kaligrafi lafal tauhid. Rasulullah mengibarkan dan mengobarkan semangat tauhid.
“Yang dikibarkan dan dikobarkan Rasulullah adalah semangat dan kumandang tauhid, Lā ilāha illallāh, Muhammadun Rasūlullāh, bukan bendera berkaligrafi kalimat tauhid,” kata Didin yang malang melintang dalam kontes kaligrafi nasional sejak 1981 kepada NU Online, Sabtu (27/10) sore.
Ia menambahkan bahwa bendera tauhid sebagai bendera Rasulullah SAW adalah klaim oleh sekelompok orang. Ia mempersoalkan klaim tersebut dengan meminta bukti otentik dan akurat.
“Bendera tauhid sebagai bendera Rasulullah seperti banyak diperbincangkan waktu-waktu belakangan, tidaklah benar dan tanpa dasar yang akurat. Tidak pula dikuatkan fakta dokumenter yang ditinggalkan,” kata pendekar kaligrafi ini.
Menurutnya, bendera Rasulullah yang dipergunakan saat itu adalah kain polos tanpa tulisan apa pun. Dalam perang-perang bersama Khalid pun sampai zaman Umar, bendera tentara Islam masih polos. Bendera-bendera tentara itu hanya kain polos dengan warna-warna tertentu.
“Lantas dari mana kita tahu, bendera Rasulullah tidak berisi kaligrafi apa pun? Tulisan Arab di zaman Rasulullah masih sederhana dan hanya digunakan untuk menyalin teks wahyu di media kulit, pelepah kurma, batu, dan kayu yang tercecer di tempat-tempat wahyu diturunkan,” katanya.
Dunia tulis-menulis, ia menambahkan, belum mentradisi di zaman Rasulullah, kecuali di beberapa kalangan yang bisa dihitung dengan jari. Bahkan Rasulullah pernah memerintahkan untuk menghapus informasi apa pun selain Al-Qur'an yang datang dari dirinya karena dikhawatirkan tercampur Al-Qur'an dengan unsur kata-kata lain saat kitab suci dikodifikasi sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim.
Ia mengutip hadits riwayat Muslim yang terjemahannya, "Jangan tulis tentang diriku. Siapa menulis dariku selain Al-Qur'an, hendaknya dia menghapusnya kembali. Bicarakanlah tentang aku dan itu tidak mengapa. Tapi siapa berdusta atas namaku, maka silakan menduduki tempatnya di neraka," (HR Muslim).
Menurutnya, hadits ini menutup kemungkinan adanya tulisan atau lukisan kaligrafi di medium selain lembaran-lembaran Al-Qur'an yang tercecer. Selain Al-Qur’an, tulisan berisi kalimat thayibah hanya terdapat pada surat-surat Nabi Muhammad SAW kepada raja-raja seperti Heraklius, Kisra, Muqauqis, Harits Al-Ghassani, Harits Al-Himyari, dan Najasi sebagai stempel.
“Menasabkan bendera-bendera berkaligrafi khat Tsulus sempurna seperti bendera Arab Saudi, bendera HTI, dan lain-lain sebagai ‘bendera Rasulullah’ lebih tidak tepat lagi. Sebab, khat Tsulus belum lahir di masa Rasulullah. Tsulus lahir atas inisiatif Khalifah Muawiyah,” kata Didin.
Ia mengatakan bahwa yang mendekati pola khat Kufi pada zaman Nabi adalah kalimat tauhid pada bendera ISIS. Namun, tulisan tersebut di zaman Nabi hanya digunakan untuk menyalin mushaf Al-Qur'an, bukan pada bendera.
“Kalimat tauhid di bendera, apalagi jika ditulis dengan kaligrafi yang indah, sangat bagus. Tapi jangan diklaim sebagai bendera Rasulullah karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah menggunakan bendera yang itu. Begitulah sejarah yang sebenarnya. Supaya kita tidak larut dan berlarut-larut dalam cerita yang dibikin-bikin alias bohong,” kata Didin yang juga pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Alhafiz K)
Posting Komentar