Home » » Menurut KH Afifuddin Muhajir ada 16 Harga Mati NU

Menurut KH Afifuddin Muhajir ada 16 Harga Mati NU

Written By lesbumi on Jumat, 27 Januari 2017 | 21.11

Sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah), Nahdlatul Ulama memiliki prinsip dasar yang harus tetap terjaga. Namun ada pula hal yang harus diadaptasikan dengan keadaan. 

Pendapat ini disampaikan KH Afifuddin Muhajir yang tampil sebagai narasumber pada Seminar Nasional Refleksi 33 Tahun Khittah NU, Rabu (11/1).

Kiai Afifuddin menyebut, setidaknya ada 16 hal yang harus dipegang teguh para fungsionaris dan warga NU. "Saya menyebutnya dengan harga mati NU," katanya di aula Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur.

"Pertama, Khittah NU 1926 yang dipertegas perumusannya pada Musyawarah Nasional atau Munas tahun 1983 dan Muktamar 1984 di Situbondo adalah sebagai harga mati," jelasnya.

Sedangkan harga mati kedua, bahwa NU mendasarkan paham keagamaannya kepada al-Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas.

"Bahwa dalam menafsirkan dan menerjemahkan 4 sumber di atas, NU menempuh pendekatan dengan bermadzhab kepada ulama Ahlussunnah wal Jamaah baik qaulan wa fi'lan," urainya. 

Harga mati keempat dalam pandangan Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sujorejo ini adalah bahwa di bidang aqidah, NU harus mengikuti madzhab Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.

"Bahwa di bidang fikih, NU mengikuti 4 madzhab, qaulan wa fi'lan. Dan ini adalah harga mati," tegasnya.

Hal yang tidak dapat ditawar berikutnya bahwa di bidang tasawuf, NU mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi, dan Imam Abu Hamid al-Ghazali. "Dalam berfikir bersikap dan betindak, NU berpegang pada prinsip tasamuh,  tawassut, i'tidal dan tawazun," ungkap Kiai Afifuddin.

Sementara, harga mati kedelapan bagi NU adalah tidak liberal dan fundamentalis atau konservatif. "Bahwa ulama sebagai penyambung matarantai paham Aswaja dan berfungsi sebagai pengelola, pengawas dan penyambung utama jalannya organisasi," jelasnya.

Sedangkan kesepuluh, posisi lembaga syuriah yang diisi para ulama berpengasuh, berfungsi sebagai pembuat kebijakan. "Dan lembaga tanfidziyah sebagai pelaksana kebijakan," katanya.

Bagi mantan Katib PBNU tersebut, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa adalah sah menurut pandangan ulama. "Bahkan merupakan bentuk final sehingga ada keharusan menjaga, mencurahkan dan mengusahakan perbaikan secara terus menerus," ungkapnya.

Harga mati kedua belas, Pancasila tidak bertentangan, bahkan selaras dengan Islam. "Bahwa NU harus memiliki jarak yang sama dengan partai politik, dan ini harga mati," katanya.

Harga mati keempat belas adalah bahwa NU harus mandiri, tidak terkooptasi oleh penguasa dan pengusaha. Titik tekan selanjutnya adalah menjaga ukhuwah Islamiyah dan wathaniyah.

Di akhir penjelasannya, Kiai Afifuddin mengingatkan bahwa, "Tidak ada pertentangan antara keberagamaan dan kebhinekaan," pungkasnya.

Pada seminar tersebut, Kiai Afifuddin tampil bersama guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Masdar Hilmy. Acara dipandu Hakim Jayli dari TV9 NUsantara. 
sumber NU online

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : NU | GP. ANSOR | PP Muslimat NU
Copyright © 2011. LESBUMI NU TARAKAN - All Rights Reserved
Dukungan MUI dan Kota Tarakan
Proudly powered by Blogger
}); //]]>