Nuchter van Oogkleppen, seorang Islamolog yang sudah 20 tahun meneliti NU dan merasa paling tahu soal seluk-beluk organisasi NU harus terkejut-kejut dan terheran-heran ketika mengikuti sarasehan bertema “NU dan Perjuangan Menegakkan NKRI” di Pesantren Sufi. Pasalnya, para pembicara yang terdiri dari Guru Sufi, Sufi tua, dan Sufi Sudrun mengungkapkan sejumlah statemen historis terkait keberadaan NU yang menurut Dr Nuchter van Oogkleppen terlalu amat sangat ‘aneh’ sekali. Sejumlah statemen historis yang dianggap ‘aneh’ oleh Dr Nuchter van Oogkleppen itu adalah:
1.NU sebagai jama’ah (komunitas) tidak selalu identik dengan NU sebagai Jam’iyyah (organisasi) karena NU sebagai Jama’ah sudah terbentuk sejak era Wali Songo, dan NU sebagai Jam’iyyah yang lahir belakangan berusaha maksimal menyesuaikan eksistensi dan identitasnya dalam kejama’ahan; 2. Tarikat pembawa universalisme keilmuan dan persaudaraan antar muslim di dunia menjadi arus bawah yang paling kuat menopang pilar-pilar ke-NU-an; 3. Kebangkitan nasional dalam kolonialisasi dimulai oleh Pangeran Diponegoro pada 1825; 4. Sistem Ahwa dalam memilih pemimpin Jam’iyah menjadi keniscayaan; 5. Politik Formal dan Informal NU sering disalah-fahami oleh pihak yang tidak memahami eksistensi NU.
Pada saat sesi tanya jawab dibuka, Dr Nuchter van Oogkleppen langsung angkat tangan dan menanyakan 5 point statemen historis yang digaris-bawahinya. Ia ingin ketiga orang pembicara memberikan penjelasan masuk akal yang bisa diterima sebagai argumen ilmiah.
“Terus terang, ini statemen historis yang membuat saya heran. Jadi saya mohon dijelaskan argument bapak-bapak mengemukakan pandangan baru yang bagi kami sangat absurd,” kata Dr Nuchter van Oogkleppen.
Sufi Sudrun yang pertama didaulat menjawab, menjelaskan lebih dulu asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin dan frame of reference yang digunakan dalam memandang dan memaknai secara emic keberadaan NU dengan alur pemikiran Pasca Hegemony. Sufi Sudrun menjelaskan, bahwa pada masa pra-Islam struktur masyarakat di Nusantara terstratifikasi atas kelas-kelas dari yang tertinggi yang diduduki golongan Brahmana yang ditandai gelar Danghyang, Dang Acarya, Dang Karayan, Susuhunan, Acarya, disusul golongan Ksatria yang ditandai gelar Nararya, Mapanji, Ken, Panji, Arya, Rahadyan, Rakryan, Kyayi, Pu, Angabehi, disusul golongan Waisya yang ditandai gelar Sang, Ki, Juru, disusul golongan Sudra, Candala, Mleccha, Tuccha yang tanpa gelar apa pun. “Sewaktu Islam datang, struktur itu tidak berubah kecuali istilah-istilah yang disesuaikan seperti golongan Ulama (brahmana) yang ditandai gelar Susuhunan atau Sunan, Panembahan, Kyai, Kyai Ageng, Kyai Anom, Syekh, yang disusul golongan Menak (ksatria) yang ditandai gelar Pangeran, Raden Mas, Raden, Mas, Kyai Mas, Kyai Ngabehi, Mas Ngabehi, Ki Ageng, Ngabehi yang disusul golongan petani dan pedagang yang menggunakan gelar Ki, Lurah, Juru, disusul rakyat umum tanpa gelar,” ujar Sufi Sudrun menjelaskan.
“Maaf kang,” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen penasaran, ”Apakah di era global sekarang ini struktur itu masih dipertahankan di lingkungan NU?”
“Tentu saja masih bertahan, pak doctor,” sahut Sufi Sudrun.
“Contohnya apa, kalau saya boleh tahu?,” sergah Dr Nauchter van Oogkleppen, ”Soalnya, itu cirri-ciri masyarakat feudal yang tidak relevan dengan jaman modern.”
“Seseorang yang secara genealogis tidak memiliki hubungan genetika dengan para ulama yang ditandai gelar Kyai, secara riil tidak akan pernah bisa disebut Kyai oleh Jama’ah NU meski secara organisatoris (jam’iyyah) di depan namanya disematkan gelar Kyai Haji alias KH karena menjadi pengurus jam’iyyah. Semua komunitas NU dalam keseharian akan memanggilnya dengan sebutan Cak, Pak, Kang, Mbah meski dia sudah menduduki jabatan tinggi di organisasi NU,” ujar Sufi Sudrun.
“Oo itu ya,” Dr Nuchter van Oogkleppen manggut-manggut, ”Baru faham saya kalau NU itu masih sangat feodal sampai sekarang.”
“Ya jama’ah NU masih sangat feodal, masih sama persis dengan feodalisme yang dianut di Negara sampeyan Belanda dan Eropa yang lain seperti Inggris, Belgia, Luxemburg, Denmark, Swedia, Norwegia, Spanyol, Monaco…, semua feodal, kecuali kaum barbar, badui”, tukas Sufi Sudrun.
“Berarti semua tradisi keagamaan yang dianut jama’ah NU sekarang ini kelanjutan dari tradisi keagamaan kuno yang terbentuk sejak jaman Wali Songo, begitukah?” tanya Dr Nuchter van Oogkleppen.
“Itulah yang disebut Islam Nusantara,” kata Sufi Sudrun, ”Yang secara sederhana bisa dijelaskan dengan logika otak-atik matuk lewat penjelasan linguistic dalam pemaknaan semantic: kata WALI SONGO yang terdiri dari 9 huruf, misal, memiliki hubungan dengan KAPITAYAN (9 huruf), ISLAMIYAH (9 huruf), SRIWIJAYA (9 huruf), KAHURIPAN (9 huruf), SINGASARI (9 huruf), MAJAPAHIT (9 huruf), GAJAH MADA (9 huruf), BRAWIJAYA (9 huruf), SILIWANGI (9 huruf), PAJAJARAN (9 huruf), NUSANTARA (9 huruf), BUNG KARNO (9 huruf), INDONESIA (9 huruf), PANCASILA (9 huruf), UUD 45 yang semua kata itu disatukan dalam komunitas golongan beridentitas jama’ah NAHDLIYIN (9 huruf), begitu makna otak-atik mathuk-nya bisa ketemu ha haha,” kata Sufi Sudrun ketawa.
“Sebentar-sebentar,” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen penasaran, ”Bagaimana bisa semua kosa kata itu terdiri dari 9 huruf?”
“Karena ada rumusnya, pak doctor.”
“Rumus? Rumus apa?” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen makin penasaran.
“Rumus dalam ilmu nujum kuno yng dikenal di pesantren-pesantren kuno,” kata Sufi Sudrun menjelaskan, ”Yaitu petungan Hisab Jumal A Ba Ja Dun Ha Wa Zun, di mana hitungan Ja adalah urutan 3 dan hitungan Wa urutan 6. Jika JA dan WA digabung, menjadi JAWA, jumlahnya 9.”
“Apa hubungannya antara JAWA dengan angka 9 yang dimaknai WALI SONGO, SRIWIJAYA, KAHURIPAN, SINGASARI, PAJAJARAN, MAJAPAHIT, BRAWIJAYA, GAJAH MADA, SILIWANGI, NUSANTARA, INDONESIA, PANCASILA, NAHDLIYIN?”
“TAUHID pak doctor.”
“TAUHID?” doctor Nuchter van Oogkleppen terhentak, ”TAUHID apa? Bagaimana nalarnya?”
“Dalam gramatika Bahasa Jawa, semua huruf yang diberi tanda swara WULU, SUKU, PEPET, LAYAR, TALING, TALING TARUNG, menjadi hidup dengan perubahan-perubahan suara tetapi jika diberi PANGKON akan mati. Nah, huruf JA dan WA, termasuk huruf yang tidak bisa dipangku. Jadi kalau ada yang mengaku JAWA dipangku mati, maka itu JAWA palsu alias bukan JAWA. Itu maknanya, huruf JA dan WA yang bernilai 9 itu tidak bisa mati. Itu yang dimaksud TAUHID di balik petungan ilmu nujum Islam Jawa dan makna linguistic huruf Jawa,” kata Sufi Sudrun.
“Wah rumit sekali logikanya,” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen garuk-garuk kepala.
“Rumit karena sampeyan orang Belanda, sulit memahami logika orang Nusantara.”
“Berarti, sebelum tahun 1926 saat Jam’iyah Nahdlatoel ‘Oelama dibentuk secara formal, eksistensi NO sebagai jama’ah sudah ada semenjak pertengahan abad ke-15 saat Wali Songo melakukan gerakan dakwah Islamiyah, begitukah?”, gumam Dr Nuchter van Oogkleppen dengan nada tanya.
“Fakta historisnya memang seperti itu, Pak doktor.”
“Bagaimana dakwah Islam bisa dipadukan dengan unsur-unsur non-Islam?”
“Karena Wali Songo dalam dakwah menggunakan pendekatan dengan prinsip 'al-mukhafadatu ala qodiimi sholih wa ahda bijadidil aslah', maka terjadi proses pribumisasi Islam di Nusantara. Orang ibadah kepada Tuhan tidak disebut SHOLAT tapi SEMBAHYANG, orang ibadah tidak makan mulai pagi sampai sore tidak disebut SHOUM tapi UPAWASA atau PUASA, Sembahyang di tempat bernama LANGGAR yang berasal dari tempat ibadah Kapitayan SANGGAR. Begitu juga penggunaan sebutan Jannah al-Firdaus, tidak digunakan melainkan istilah Swarga. Untuk sebutan Jahannam digunakan istilah lokal Naraka. Demikianlah, Islam Nusantara terbentuk semenjak zaman Wali Songo, dengan penggunaan istilah-istilah lokal yang difahami pribumi,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Itukah sebabnya para kyai masih sering kedapatan ziarah ke makam-makam tua di bekas Kerajaan Majapahit?”, gumam Dr Nuchter van Oogkleppen ingin tahu, ”Apakah itu kelanjutan tradisi kuno sebagaimana dilakukan Prabu Hayam Wuruk yang berziarah ke candi-candi pemakaman tua seperti digambarkan dalam Negarakretagama?”
“Sejatinya, sebagian besar kyai-kyai NU itu secara genealogi masih keturunan raja-raja Majapahit baik dari galur Lumajang, Surabaya, Blambangan, Demak, Pengging, Banten, Pajajaran, maupun Palembang. Jadi kalau diadakan uji DNA, kyai-kyai NU itu memiliki kesamaan otentik DNA-nya,” jelas Sufi Sudrun.
“Oo pantas saja ketika ada orang kampung yang bisa ngaji kitab langsung mengaku kyai NU, terus menghujat tradisi NU, maka semua orang NU menolaknya sambil marah-marah. Rupanya, gelar kyai itu gelar yang berhubungan dengan genetika dan status sosial bukan sekedar gelar formal karena orang bisa mengaji kitab. Gelar kyai bukan suatu gelar yang bebas diaku-aku oleh sembarang orang. Hmm, baru tahu sekarang saya,” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen manggut-manggut.
“Bagaimana menurut Pak Doktor tentang eksistensi NU di tengah gelombang globalisasi?” tanya Sufi Sudrun minta tanggapan.
“Jika jiwa dan semangat feodal NU tetap dipertahankan, pastilah NU tidak goyah dan tumbang oleh arus gelombang globalisasi sebagaimana feodalisme Eropa tidak bergeming oleh globalisasi,” kata Dr Nuchter van Oogkleppen menyimpulkan.
Posting Komentar