Sejak ada ulama Arab Saudi yang memberikan sebutan imam kepada KH Hasyim Asy’ari, kami merasa ingin tahu lebih jauh tentang profil pendiri Nahdlatul Ulama itu. Selama ini, julukan yang akrab disandangkan kepada orang yang juga mendirikan Pesantren Tebuireng itu adalah Hadhratusy Syaikh, sebutan yang memberikan konotasi keilmuan dan keguruan. Sementara, sebutan imam memiliki konotasi kepemimpinan dan keumatan.
Seyogianya sebagai orang yang pernah menyantri di Tebuireng selama 10 tahun (1966-1976), kami bisa mendapatkan informasi tentang KH Hasyim Asy’ari dari guru-guru kami yang menjadi murid langsung beliau. Namun sayang, tidak satu pun para kiai yang menjadi guru kami itu memberikan informasi tentang KH Hasyim Asy’ari kepada kami.
Mungkin waktu itu, kami masih dianggap anak-anak sehingga belum masanya mendapatkan informasi tentang sosok KH Hasyim Asy’ari secara lengkap. Kami juga termasuk santri yang akrab dengan putra Hadhratusy Syaikh, yaitu KH M Yusuf Hasyim Rahimahullah yang akrab dipanggil Pak Ud, tapi juga sayang Pak Ud tidak memberikan informasi banyak tentang ayahanda beliau kepada kami, kecuali bahwa Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari tidak mau diadakan acara haul karena beliau tidak mau dikultuskan.
Haul adalah acara peringatan tahunan tentang wafatnya seseorang. Demikian pula dengan cucu-cucu beliau seperti Gus Dur, Gus Solah (KH Salahuddin Wahid), Ibu Aisyah Baidhawi Wahid Hasyim, dan lain-lain karena ketika Hadhratusy Syaikh wafat (1947), mereka masih anak-anak.
Untuk mengorek informasi tentang Hadhratusy Syaikh, tinggal satu cara, yaitu melalui murid-murid beliau yang masih hidup. Dan ternyata hampir semua murid Hadhratusy Syaikh juga telah wafat. Namun,alhamdulillah, setelah mencari informasi, kami menemukan salah satu murid Hadhratusy Syaikh yang sampai hari ini masih sehat, yaitu Romo KH Abdul Muhit Muzadi, kakak kandung KH Hasyim Muzadi, anggota Wantimpres RI.
Mbah Muhit, begitu beliau akrab disapa, kini berusia 92 tahun dan sejak tiga tahun lalu tinggal di Kota Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, beliau tinggal di Jember. Awal Februari lalu, kami sengaja datang ke Kota Malang dengan satu tujuan, sowan ke Mbah Muhit untuk mendapatkan informasi terkait kepemimpinan dan keumatan Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dan lain-lain.
Beliau tinggal di kompleks Pesantren Mahasiswa al-Hikam Malang yang didirikan oleh adik beliau, KH Hasyim Muzadi. Beliau tampak gembira sekali menerima kedatangan kami. Pandangan matanya, pendengarannya, dan suaranya masih seperti puluhan tahun lalu ketika kami sering bertemu beliau.
Setelah kami menanyakan kitab-kitab karya Hadhratusy Syaikh, metode mengajar para santri sehingga banyak santri beliau yang menjadi kiai, kami menanyakan kepada Mbah Muhit tentang pandangan Hadhratusy Syaikh terhadap ormas-ormas Islam. Beliau adalah penggagas Kongres Umat Islam pertama pada November 1945 yang melahirkan Partai Islam Masyumi untuk menyatukan umat Islam Indonesia dan beliau diamanati menjadi rais akbar partai Islam tersebut.
Dalam pikiran kami, sebagai pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng, mungkin beliau menggunakan kharismanya untuk meng-NU-kan santri-santri beliau. Ternyata, pikiran kami ini tidak tepat. Setelah kami tanyakan kepada Mbah Muhit, apakah KH Hasyim pernah menyuruh santrinya masuk NU? Beliau menjawab, “KH Hasyim tidak pernah menyuruh santrinya untuk masuk NU, bahkan salah satu putera beliau, Gus Kholik (KH Abdul Khalik Hasyim) tidak masuk NU.”
Di sinilah tampak kebesaran jiwa Hadratusy Syaikh kendati beliau mampu meng-NU-kan santri-santri tapi beliau tidak melakukannya. Tampaknya, Hadhratusy Syaikh mempunyai prinsip, selama masih dalam rumpun Ahlussunnah wal Jamaah, beliau tidak mempermasalahkan apakah menjadi NU atau bukan. Tak mengherankan bila kemudian banyak santri Hadhratus Syaikh yang aktif di ormas Islam bukan NU.
Sebut saja sebagai contoh Dr H Anwar Heryono SH yang waktu hidupnya pernah menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), KH Abdul Rahman al-Hafizh, tokoh Muhammadiyah dari Lamongan Jawa Timur, dan lain-lain.
Pada masa Hadhratusy Syaikh tentulah sudah ada perbedaan para ulama dalam menetapkan Lebaran. Bagaimana sikap beliau tehadap perbedaan tersebut? Hal itu juga kami tanyakan kepada Mbah Muhit.
Jawaban beliau, Hadratusy Syaikh pernah ditanya masyarakat kapan berlebaran, beliau menjawab, “Lek melok Maksum, yo mene, lek jare aku, yo nunggu rukyat se (Kalau ikut Maksum, lebarannya besok, tapi kalau menurut saya, kita menunggu rukyat dulu).” Maksum yang disebut oleh Hadratusy Syaikh adalah murid dan menantu beliau sendiri. Nama lengkapnya KH Maksum bin Ali, seorang ahli falak yang telah menulis kitab falak berjudul al-Durus al-Falakiyyah(Pelajaran Ilmu Falak) tiga jilid dalam bahasa Arab.
Tampak di sini bahwa Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari tidak memaksa orang lain mengikuti pendapat beliau. Beliau juga tidak mempermasalahkan seorang santri dan menantu beliau sendiri yang ternyata berbeda pendapat. Bandingkan, misalnya, dengan kiai kacangan yang jika mengetahui muridnya berbeda pendapat dengannya, dia langsung memvonis, “Ilmumu tidak bermanfaat.”
Boleh jadi, KH Hasyim Asy’ari memandang penetapan Lebaran adalah masuk wilayah ijtihad sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Yang mau mengikuti rukyat, silakan, dan yang mau mengikuti hisab, silakan. Wajar jika sikap beliau terhadap perbedaan ormas Islam dan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menjadikan beliau sebagai imam umat Islam Indonesia.
Dan ternyata sampai beliau wafat, umat Islam Indonesia masih bersatu dalam satu wadah Partai Masyumi. Ketika hal itu kami ceritakan kepada seorang kawan, dia bertanya kepada kami, “Cak Mus, apakah sekarang ini Gusti Allah sudah tidak menciptakan lagi orang semacam Kiai Hasyim Asy’ari.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ali Mustafa Yaqub/Imam Besar Masjid Istiqlal
Posting Komentar